Berpisah

1.6K 127 5
                                    

Kapal-kapal telah berjajar. Siap mengangkut para prajurit bangsa untuk pergi betugas di seluruh pelosok negeri. Setya mencium tangan ibundanya berkali-kali. Sebentar lagi, ia akan jauh pergi dari ibundanya. Ia akan rindu. Pada semua yang ia tinggalkan disini. Ibunya, tanah kelahirannya dan satu lagi Mediterania. Yah, sejak kejadian di meja makan itu, Medi seakan menjauh darinya. Telpon dan pesan-pesannya tak pernah terbalas. Dan pada hari ini, bahkan gadis itu tidak datang untuk menemuinya. Hatinya begitu sedih. Berat sekali rasanya.

"Jaga diri kakak baik-baik", ujar Isabella yang ikut mengantar pria itu.

Setya hanya mengangguk. Namun bibirnya membisu. Ia masih kesal dengan perlakuan Isabella waktu itu. Andai Isabella tidak melakukan hal itu, mungkin Medi berdiri disini berdampingan bersama Adriana. Bahkan Adriana tengah memeluk bahu gadis itu seperti hari-hari lalu. Masalahnya bukan pada Adriana. Tapi pada Medi yang tersinggung. Siapa yang tak merasa tersindir ketika kepercayaannya di singgung. Mungkin itu yang di rasakan Mediterania. Setya memaklumi itu. Tapi hatinya tetap saja terus menjerit nama Medi. Ah sekali lagi nama itu terus menyesakan pikirannya. Ia menghela nafas. Menyayangkan keberangkatannya tidak di antarkan sang kekasih.

"Setya!"

Prasetya mendongakkan wajahnya. Seorang gadis berjalan mendekati dirinya. Rambutnya berkibas tertiup angin. Medi berjalan menghampiri Prasetya. Mendekat, hingga makin mendekat. Jantung pria itu mulai berdetak. Berdenyut tak beraturan. Senyumnya begitu mengembang. Ada semangat yang memacu dalam dirinya. Ia ingin memeluk gadis itu, membisikan pada telinganya bahwa ia benar-benar mencintai seorang Mediterania.

"Medi..."

"Letnan dua Aryandra Prasetya beginikah kamu menghormati saya?!"

Setya tersenyum. Sedikit getir. Kemudian badannya berubah menegap. Ia memberikan hormat kepada Medi. Medi mulai menangis. Terlihat betul dari matanya yang berkaca-kaca. Rupanya gadis itu menahan tangisnya sejak tadi. Hingga kini tumpah ruah begitu saja.

"Saya tidak akan memberikan kesempatan padamu untuk menurunkan hormatmu. Kamu adalah prajurit negara, prajurit bangsa ini, tolong jaga negara ini. Jaga bangsa kita dengan baik. Tapi satu yang harus kamu ingat, pulanglah dengan selamat ada banyak orang yang menantimu kembali. Saya percaya kamu mampu. Sebab saya mengenalmu bahkan lebih mengenalmu daripada mengenal diri saya sendiri", selorohnya. Setya tersenyum. Medi memang selalu memiliki kejutan yang luar biasa.

"Saya hanya butuh pembuktian bukan janji belaka. Maka dari itu lakukan!"

"Saya titip dahulu negara ini, saya harus pergi jauh menjaga perdamaian"

Deg...
Seketika senyuman di wajah pria itu memudar. Tak seperti tadi yang begitu berbunga-bunga, wajahnya kembali suram. Namun tubuhnya masih tetap menghormat. Hanya mata yang berkaca-kaca yang bisa berkata. Di posisinya sekarang, ia dilarang untuk bertanya bahkan berkata. Sebab Medi sedang mengajaknya bicara antara atasan dan bawahan.

Plak!
Tamparan itu mendarat di pipi Prasetya. Membekas cap tangan warna merah. Medi kini menangis. Pasalnya ia juga merasakan perih atas apa yang ia lakukan pada Prasetya.

"Kenapa?! Kenapa kamu menangis?! Prajurit bangsa pantang menangis!"

"Ijin bertanya letnan!"

"Silahkan"

"Boleh saya bicara sebagai Prasetya? Bukan sebagai letnan dua Aryandra Prasetya?"

"Tidak! Tidak boleh!"

Medi menahan tangisnya sekuat tenaga. Ia menunduk kemudian terkekeh. Ia menatap kedua manik mata menenangkan milik Setya. Ah, rasanya sangat menyesakkan. Setya adalah cinta pertama baginya. Hatinya begitu mengacu pada pria itu tidak ada yang lain. Mudah bagi Medi untuk mencari pria yang lebih dari Setya. Namun hatinya tidak bisa melakukan itu. Pria yang di hadapannya inilah yang berhasil membuatnya luluh seketika.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang