Setahun

1.3K 124 6
                                    

Malam begitu pekat. Namun masih ada banyak bintang di angkasa. Angin berhembus mengudara. Menyuarakan deburan ombak ke telinga. Meskipun laut begitu jauh dari atas bukit. Medi menatap ke arah lautan biru. Disana ia bisa melihat pantulan bintang dari airnya. Ah, indah sekali. Ia juga tahu ayahnya pernah memandang lautan yang sama. Lautan indah Mediterania. Siapa yang tidak mengenalnya. Semua pasti tahu menahu soal itu. Ia mengeratkan pegangannya pada sebuah potret diri. Potret ayahnya yang tengah berada di Lebanon kala itu. Air matanya tumpah seketika. Ia mulai merinding. Kini, ia yang melanjutkan tugas sang ayah. Kini, ia yang akan melindungi perdamaian ini.

"Papa...", Gumamnya lirih. Mungkin hanya telinganya saja yang mendengar.

Tidak di duga Simon menatapnya dari belakang. Laki-laki itu diam-diam mengikuti Medi hingga ke tempat itu. Ia terdiam sedari tadi. Bukan terpana dengan indahnya lautan Mediterania. Tapi ia terhanyut dengan kecantikan seorang gadis bernama Mediterania. Ia mulai berdehem. Membuat Medi sedikit melonjak. Gadis itu memperbaiki posisi duduknya. Kemudian menghapus air matanya dengan kasar.

"Kenapa?"

"Siap! Tidak!"

Simon terkekeh. Kemudian menyenggol bahu Medi dengan bahunya. Ia tahu bagaimana hati seorang gadis disampingnya ini. Ia tahu bagaimana perasaan Mediterania saat ini. Bukan saat ini saja. Tapi ia tahu hati gadis ini sejak dulu. Sejak dia dengan Medi ada di akademi militer. Sejak hatinya merasa cemburu dengan kehadiran Prasetya pada saat itu. Hingga saat ini ia masih diam. Mulutnya masih bungkam. Tidak ingin mengeluarkan suara sedikitpun. Bukankah cinta paling hebat adalah mereka yang mencintai dengan diam? Dan aku telah melakukannya. Setidaknya itu yang menjadi semboyan pria itu selama ini.

"Saya sedang menjadi temanmu bukan menjadi kapten. Bersikaplah biasa saja"

Medi tersenyum. Sungguh senyum yang paling Simon suka. Ia tak suka apapun kecuali Mediterania. Ia tak mau apapun kecuali Mediterania. Katakan padanya, apa yang paling manis di dunia ini. Maka Simon akan menjawab dengan tegas, senyuman Mediterania. Yah, dia suka senyum manis itu. Entah sejak kapan. Mungkin, sejak hatinya begitu luluh pada seorang gadis belasan tahun yang begitu cerdas dan giat di akademi militer. Pada gadis kesayangan pelatih disana. Prasis wanita paling teladan. Hingga ia menjadi minoritas yang amat di kagumi oleh mayoritas.

"Ada apa?" Kata Simon.

"Tidak kakak"

"Ingat papa?"

Medi mengangguk. Ia memang tak banyak bicara. Tapi sekali bicara jangan harap kalian bisa mengabaikannya. Ia punya sebuah daya tarik yang amat luar biasa saat bicara. Seperti Medan magnet yang mampu menarik benda-benda di sekitarnya. Begitulah Mediterania.

"Saya yakin, papa tengah melihatmu di surga. Ia telah bangga pada putrinya. Siapa yang tak bangga pada seorang anak yang mampu membanggakan orang tuanya. Kamu tahu apa yang saya doakan pada Tuhan setiap kali menghadap ke altar? Saya meminta pada Tuhan jika suatu hari nanti saya memiliki seorang putri saya ingin putri saya menjadi sosok sepertimu"

Medi tercengang. Ia tak bisa berkata apapun saat itu sungguh. Terlebih Simon menatap persis ke arahnya. Ia tak bisa berkutik. Ia juga tak berani menatap wajah laki-laki itu. Ia dan Simon memang begitu dekat begitu mereka melaksanakan tugas di Lebanon. Simon begitu memperhatikan dirinya, menjadi tempat berbagi cerita. Namun tak jarang Simon menjadi sangat overprotektif padanya. Dan menganggapnya lebih dari seorang teman. Dari tutur kata dan juga tindakannya itu sangat terlihat lain.

"Hmmm maksud saya, saya ingin memiliki putri yang sangat membanggakan seperti kamu"

"Hanya seorang putri?"

"Ya tentu jika laki-laki dia akan seperti saya"

"Kenapa?"

"Ya karna saya ayahnya"

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang