Senja datang begitu cepat. Menemani dua orang yang tengah duduk memandangi samudera. Hari ini yang mereka nantikan. Sebuah kebersamaan di tempat mimpi mereka. Pada dasarnya Prasetya dan Mediterania memiliki ambisi yang sama. Keduanya memiliki dinding kukuh untuk memperjuangkan bangsa dan negaranya. Meneruskan cita-cita ayahanda tercinta. Mereka begitu satu frekuensi hingga terkadang, semesta sendiri sulit untuk memisahkan.
Setelah selesai dengan cek kesehatan untuk anak-anak itu, Prasetya memang sengaja membawa Medi ke tempat ini. Tempat yang selalu ia impikan akan duduk bersama dengan Mediterania. Kini, semuanya menjadi nyata. Perempuan dengan baju lorengnya duduk dengan tenang menghadap samudera disana. Samudera yang sama dengan namanya. Rambut pendeknya yang sebahu berkibas tertiup angin. Matanya sedikit menyipit karna cahaya jingga membuatnya begitu silau.
"Papa juga dulu duduk disini. Ketika dia merangkai namaku, Mediterania. Dan aku tahu nama itu di pesankan kepada ayahmu untuk disampaikan kepada mama ku", katanya.
Setya masih terdiam. Sejujurnya ia tak ingin banyak berkata. Ia hanya ingin memeluknya saja. Kemudian menangis dalam peluknya. Yah, mungkin itu cukup untuk membuatnya mengatakan pada Mediterania bahwa ia begitu merindu. Siang malam hatinya selalu tak menentu. Gelisah tak ada habisnya. Ia terus di hujan rasa tak karuan. Rasa sesak akan sebuah kehilangan.
"Set, ingat beberapa tahun lalu ketika kita pergi pesiar bersama untuk yang pertama kalinya? Itu adalah hari paling indah dalam hidupku. Hingga saat ini, hari itu masih menjadi hari favoritku"
Setya masih terdiam. Ia menatap Mediterania. Mungkin gadis ini akan mengatakan banyak hal padanya. Ia tak mau menyela. Sebab, mendengarkannya bercerita saja sudah cukup baginya. Ia suka gadis ini. Semuanya yang ada pada Mediterania. Tapi yang menjadi favoritnya adalah kata-katanya yang lembut. Matanya yang tajam begitu menenangkan. Mata indah manapun akan kalah dengan mata tajam itu. Meskipun mata indah bak zambrut hijau sekalipun, Tak akan pernah bisa menggantikan mata tajam itu. Setya masih banyak berpikir tentang bagaimana sebuah mata bisa membuatnya begitu nyaman. Bagaimana sebuah kata dapat membuatnya begitu tenang. Entahlah itu semua bagaikan sebuah sihir yang tak ia mengerti jalan kerjanya.
"Aku selalu banyak bicara yah", kata Medi. Ia mulai terkekeh.
"Lanjutkan. Saya suka mendengarkanmu tentang apapun itu"
Medi mulai menghela napas. Kepalanya mulai menyandar pada lengan Prasetya. Tanpa perintah, laki-laki itu segera merangkul tubuh Medi. Ini yang ingin ia lakukan. Menjadi sandaran bagi Mediterania. Ini yang ingin lakukan. Membuat Mediterania begitu nyaman dalam pelukannya. Tak akan ia lepas lagi.
"Masih senyaman dulu", ujar Medi.
"Karna saya menjaganya selalu. Hanya pemiliknya yang boleh singgah disini", kata laki-laki itu. Sontak membuat Medi kembali terkekeh.
"Siapa pemiliknya?"
"Masih Mediterania"
"Belum berubah?"
"Belum. Dan tidak akan pernah"
"Kamu dengan suster cantik itu bagaimana?", Katanya sambil tersenyum simpul.
Prasetya membulatkan matanya. Sedikit berdehem sebab ia merasakan gugup yang luar biasa. Hingga ia benahi sedikit posisi duduknya. Hal itu justru membuat Medi semakin tertawa sejadi-jadinya. Setya mulai mengira darimana seorang Medi bisa tahu antara dia dan Ilona. Tapi itu semua hanya cerita saja. Yang jelas, ia telah bertemu dengan tambatan hatinya saat ini.
"Dari... Darimana kamu tau?"
"Set, kamu kenal dokter Naf?"
"Dokter Nafisah?"
"Ya. Kenal kan?"
Setya mulai mengangguk. Medi menghela napas kembali sembari menetralkan tawanya yang belum juga reda. Rasanya, ia lupa kapan terakhir ia tertawa seperti ini. Tapi jelas dalam ingatannya, Prasetya yang membuatnya tertawa seperti ini dulu. Dan sekarang.
"Dokter Naf adalah sahabatku. Aku yang meminta dia menemuimu. Berkenalan denganmu, menjadi dekat denganmu", ungkap Medi. Prasetya terdiam. Ia mulai menyadari sebuah kejanggalan ketika bertemu dengan dokter Naf. Ada sesuatu yang terasa begitu dekat meskipun ia sendiri tidak tahu akan hal itu.
"Naf dan aku bersahabat sangat baik. Aku tau siapa Naf. Dia gadis baik, cerdas dan Sholehah"
"Lalu apa hubungannya denganku?"
"Besok aku kembali ke tanah air. Ada suatu urusan yang harus aku slesekan disana. Jangan patahkan tugasmu dan mencariku. Selesai kan tugasmu dulu baru mencariku itu yang namanya prajurit sejati"
"Tapi kenapa begitu mendadak?"
"Suatu saat kamu akan tahu jawabannya"
"Satu lagi set, cari pendampingmu yang satu frekuensi denganmu"
"Saya dan kamu satu frekuensi Medi..."
"Satu lagi, satu keyakinan. Ingat set"
Prasetya terdiam. Ia tak mengerti lagi bagaimana harus berkata. Sekali lagi dia harus kembali berpisah dengan Mediterania. Sekali lagi dia harus mencarinya suatu saat. Sekali lagi Medi membuat sebuah pertanyaan dalam kepalanya yang ia sediri tak bisa menjawabnya.
"Apa kamu masih mencintai saya Mediterania?"
"Biarlah Tuhan dan aku yang tahu sisanya kamu tahu sendiri. Sudahlah berhenti mengatakan cinta"
"Kenapa?"
"Cinta itu hanya sebuah kata tapi terkadang kita yang terlalu merumitkannya. Biar aku nikmati senja ini bersama kamu set, mungkin yang terakhir. Sebelum aku pergi"
Setya terdiam. Ia ikut bungkam meskipun dalam benaknya masih ada sejuta pertamanya. Apa? Mengapa? Bagaimana? Semuanya terus berputar bagai kepingan film yang tak dapat berhenti meskipun sekali saja. Ia larut dalam tanda tanya yang begitu besar. Akan sangat sulit menjawabnya suatu saat nanti. Sekali lagi, semuanya terjadi.
____________________________________"Naf, pengajuan kepulangan ku sudah diterima. Besok aku pulang dan mulai cuti sudah aku turuti semua yang kamu mau"
"Aku yakin, aku yakin sekali semuanya karena Prasetya. Entah bagaimana aku harus berterima kasih pada dia. Aku harus berterima kasih padanya sebelum aku juga kembali ke tanah air dua bulan lagi"
"Tidak bukan karena Naf. Sumpah demi Tuhan jangan katakan apapun dengan Setya aku tak memberi tahunya tentang sakitku"
"Med-"
"Sumpah demi Tuhan Naf, kau harus jaga rahasiaku. Jangan sampai dia tahu tentang sakitku. Demi Tuhan Naf, kau bisa mengatakannya setelah aku mati"
"Med! Jangan bicara mati! Jangan bicara tentang apapun itu! Kamu bukan Tuhan yang bisa seenaknya bicara kematian!", Teriaknya. Nafisah tak kuasa lagi menahan tangisnya.
Mediterania memeluk gadis di hadapannya ini. Ia membuat Nafisah bungkam. Sejujurnya gadis itu sangat tidak senang apabila sahabatnya itu mengatakan kematian. Ia akan begitu lemah ketika Mediterania mulai meracau tentang kematiannya. Ia benar-benar benci itu. Sungguh, itu membuatnya begitu sakit. Begitu terluka. Ia begitu menyayangi Medi, seperti saudarinya. Seperti kakak perempuannya sendiri. Ia tak ingin sesuatu terjadi padanya meskipun itu hanya sekecil ujung kuku saja.
"Iya iya aku janji tidak akan lagi bicara seperti itu. Tidak akan pernah. Sudah tenanglah Naf, aku akan pulang memulai pengobatanku dan suatu saat ketika kamu pulang aku sudah sembuh dan kita bisa melakukan apapun yang kita sukai seperti dulu"
Nafisah mulai berhenti terisak. Meskipun ada sisa-sisa tangisan disana. Medi mulai tersenyum. Ia menatap perempuan dihadapannya itu. Sungguh, dia adalah gadis yang begitu baik. Begitu lugu dan santun. Siapapun akan merasa beruntung jika kelak memiliki Nafisah sebagai pendampingnya.
"Naf, kamu cantik. Kamu baik dan Sholehah aku harap kamu dapatkan laki-laki yang juga mempunyai sifat sepertimu"
Keduanya saling berpandangan. Menghabiskan malam-malam terakhir berdua saja. Pada ruangan serba putih ini. Tampak begitu sunyi. Hanya mereka saja. Tak ada yang lain. Sayup-sayup suara binatang malam bahkan tidak terdengar atau bahkan suara bangsal-bangsal yang didorong. Seakan-akan kesepian ini memeng sengaja di ciptakan untuk keduanya membuat salam perpisahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benteng Merah Putih
RomanceSebelum baca silahkan baca cerita "ANTARA LEBANON" Aryandra Prasetya memiliki cita-cita suci untuk meneruskan perjuangan mendiang ayahnya Serma Setya Susanto yang gugur dalam tugas perdamaian di Lebanon. Lalu bagaimanakah perjuangan Setya muda mener...