Malam ini hujan kembali turun. Nafisah duduk di balkon kamarnya. Ia masih saja melamun. Mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia ingat betul ketika kantuk mulai melanda dan ia tertidur. Suara-suara dari alat medis milik Mediterania yang berpacu tak beraturan. Suara tangisnya yang memburu ketika raga gadis itu tidak lagi bernyawa. Segelintir kenangan mulai berputar bagai film. Ia terus terdiam. Merasakan sedikit demi sedikit perasan rindu. Ia rindu ketika ia dan Medi masih bersama. Pergi dan pulang sekolah berdua.
Ketika Medi membelanya dari mereka yang mencoba menyakiti Nafisah. Hingga tak ada lagi yang berani untuk menjadikan Nafisah sebagai bulan-bulanan lagi. Ia ingat ketika Medi yang menemaninya saat orang lain bahkan tidak ingin berteman dengan dirinya.
"Naf"
Tak ada jawaban. Gadis ini ingin sendiri. Menenangkan segala pikiran yang masih membuatnya berat. Ia butuh ketenangan hingga tak mengijinkan seorang pun datang ke kamarnya. Ia sengaja mengunci pintu kamarnya. Sekali lagi pintu itu di ketuk. Namanya pun berulang kali di panggil.
"Nafisah"
"Bu, tolong. Naf ingin sendiri dulu"
"Makan dulu nduk. Kamu belum makan toh?"
"Iya nanti Naf makan. Tapi tolong jangan di ganggu dulu"
"Yo wes, tapi jangan lupa makan ya nduk"
"Iya Bu"
Suasana kembali sepi. Hening sekali. Hanya ada suara rintik hujan saja. Bahkan tangis Nafisah tidak bisa terdengar. Ia memang sengaja menahan isakannya. Tak ingin seorang pun tau bahwa dia tengah menangis. Nafisah mengela nafas. Sungguh ini semua terasa begitu berat. Ia bahkan masih terjerumus pada rasa bersalah yang selalu menghantuinya. Membuatnya semakin kacau balau.
"Seharusnya aku bisa lebih cepat lagi", gumamnya.
____________________________________Setya duduk dengan begitu lesu. Sejak tadi Rama masih menemani laki-laki itu. Ia mencoba menghibur Prasetya. Namun hasilnya nihil. Prasetya belum mengucapkan sepatah kata pun pada siapa-siapa selepas pulang dari upacara pemakaman Mediterania. Bahkan pria itu tidak menyentuh makanan sama sekali. Ia belum mengisi perutnya. Rasa lapar seakan tidak berarti untuknya. Dunianya telah runtuh. Ia mengutuki dirinya. Ia tak bisa menemani Mediterania meskipun Hanya sebentar saja.
"Bagaimana?", Tanya Isabella pada rama.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Ia pun tak mampu untuk membujuk Setya. Setya masih terdiam termenung dalam angan-angannya sendiri. Ia tengah berlari di Padang luas. Mengejar Mediterania. Tapi sayang, angannya tidak sampai.
"Ram, saya ingin istirahat. Saya ingin tidur"
Rama mengangguk. Mungkin saat ini memang itu yang di butuhkan Prasetya. Rama keluar dari kamar. Menutup pintu kamar Setya. Membiarkan laki-laki itu tertidur dengan tenang. Isabella tampak begitu cemas. Ia takut dengan kondisi Setya saat ini. Rama menepuk bahunya dengan lembut.
"Tenang saja. Dia akan baik-baik saja. Percayalah"
"Bang ada yang ingin aku bicarakan"
"Bicara saja"
"Jangan disini"
"Mau dimana?"
Isabella mulai berjalan. Rama mengekor di belakangnya. Gadis itu berhenti di balkon atas. Angin semilir berhembus ketika gadis itu membuka pintu itu. Gemercik gerimis mulai rintik-rintik pada wajahnya yang cantik. Tapi mungkin suasana ini yang ia perlukan untuk berbicara empat mata dengan Rama. Rama harus tahu tentang sebenarnya. Fakta yang tidak wajar ketika ia mencintai saudara laki-lakinya sendiri. Ah, entah itu berdosa atau tidak. Ia tidak tahu. Tapi sepertinya Rama bisa menjaga rahasia. Rama bisa ia percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benteng Merah Putih
RomanceSebelum baca silahkan baca cerita "ANTARA LEBANON" Aryandra Prasetya memiliki cita-cita suci untuk meneruskan perjuangan mendiang ayahnya Serma Setya Susanto yang gugur dalam tugas perdamaian di Lebanon. Lalu bagaimanakah perjuangan Setya muda mener...