Putih

1.3K 98 0
                                    

Tenda-tenda berdiri begitu kokoh. Aroma melati semerbak pada rongga-rongga hidung. Suara rebana dari luar pun begitu menggema. Nafisah masih duduk di hadapan cerminnya. Ia tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana. Balutan kebaya putih sangat pas dalam tubuhnya. Cantik sekali. Bahkan tidak ada yang menduga bahwa gadis yang duduk di depan cermin itu adalah Nafisah. Tamu-tamu mulai berdatangan. Memberikan ucapan selamat pada keluarga. Setelah melalui perjalanan panjang untuk pengajuan menikah, akhirnya pernikahan itu bisa di gelar.

"Ya Tuhan, kak Naf cantik sekali", ujar Rebecca yang ikut hadir dalam acara itu.

"Terima kasih Becca sudah datang. Dengan siapa?"

"Dengan abang Stephen tapi abang di luar masih menunggu pengantin laki-laki. Beruntungnya kakak Naf bisa di acc"

"Iya sabar saja. Nanti pasti giliran Becca dan Stephen. Kalau di acc semua nanti ndak ada tamu undangannya toh"

"Iya bener juga haha"

Mereka mulai terkekeh. Pujian demi pujian mulai berdatangan ketika tamu-tamu wanita menyambahi pengantin wanita di kamarnya. Wajah Nafisah memang tampak berbeda. Tampak bersinar begitu cerah tidak seperti biasanya. Tiba-tiba para pemain Rebana berhenti bermain. Pembawa acara mulai berbicara. Memperkenalkan siapa yang akan menjadi raja dan ratu pada hari ini.

Prasetya duduk di meja yang telah di siapkan. Betapa ia begitu gugup. Berkali-kali, ia harus mengusap keringat yang menetes. Tangannya sedikit gemetar. Setelah hari ini, hari selanjutnya akan sangat berubah. Akan sangat berbeda. Ia mulai msnjabat tangan seorang laki-laki yang duduk di depannya. Tangannya sedikit gemetar namun laki-laki itu mampu untuk menahannya.

"Bismillahirahmanirrahim. Ya ananda Aryandra Prasetya"

"Ya saya sendiri"

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya Inayatul Nafisah binti Haji Ahmad Sobari dengam mas kawin 58.000 riyal di bayar Tunai"

"Saya terima nikah dan kawinnya Inayatul Nafisah binti Haji Ahmad Sobari dengan mas kawin tersebut tunai"

Saksi segera mengatakan kata sah. Para tamu undangan yang hadir serempak mengatakan puji syukur atas menyatunya kedua insan itu. Nafisah masih duduk di dalam kamarnya. Ia menangis haru. Kini, dia telah menikah dengan laki-laki yang insya Allah sholeh. Laki-laki yang insya Allah mampu untuk menuntunnya menuju Jannah. Kini ia telah menikah dan akan berumah tangga. Beban Setya akan menjadi bebannya juga dan bahagianya Setya akan menjadi bahagianya juga. Kini ia telah menikah. Telah menjadi seorang istri. Dimana hatinya telah teguh akan mengabdikan diri untuk suami. Bukankah, Surga bagi seorang wanita yang telah menikah adalah suami-suami mereka sendiri? Kini Setya telah menjadi surga untuknya. Menjadi bagian dalam hidupnya.

"Naf, ayo keluar. Suamimu telah menunggu", ujar ibundanya.

"Ibu, Naf sudah menikah"

"Iya nduk. Ayo keluar sayang"

Nafisah mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Tamu-tamu menatapnya begitu takjub. Begitu pula Prasetya yang juga di buat takjub akan kecantikannya. Prasetya meraih tangan Nafisah mencium keningnya beberapa saat. Begitu pula Nafisah yang mencium tangan Prasetya untuk pertama kalinya.

"Insya Allah aku akan menjadi suami yang baik untukmu dek. Mencintai dan menyayangi kamu lahir batin sampai akhir hayatku"

"Insya Allah"

Keduanya mulai duduk pada kursi pelaminan yang telah di siapkan. Ucapan selamat terus mengalir pada keduanya. Tak henti-hentinya mereka tersenyum. Hari ini adalah hari yang begitu indah dalam hidup mereka. Hari yang begitu bersejarah dalam hidup keduanya. Semua undangan bersuka cita. Bahagia menyaksikan kedua mempelai di sana.

"Mau kaya gitu dik?", Ujar Rama pada Isabella yang duduk di sampingnya.

"Mau bang"

"Kuliah dulu", kata Rama sembari mengacak rambut Isabella gemas.

"Ih abang ih"

"Tenang saja. Nanti abang tunggu kau lulus ya sayang. Baru nanti abang lamar kau"

Keduanya terkekeh. Adriana menatap Prasetya. Kini putranya telah memiliki sebuah rumah untuk pulang. Ia membayangkan bagaimana mendiang suaminya akan melihat hal ini. Duduk di samping dirinya. Menggenggam jemarinya dengan erat. Mereka akan merasakan bagaimana anak mereka tumbuh dewasa. Mereka akan melihat anak mereka yang bersanding dengan pujaan hatinya. Mereka akan menua bersama-sama. Ah, bukankah tidak ada yang lebih indah dari hal itu. Namun sayang, semuanya tak bisa ia rasakan. Ia harus merasakannya seorang diri.

Ia menghela napas. Bukankah di saat seperti ini ia tidak boleh bersedih? Ia harus bahagia. Sebab hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidup putranya. Ia melihat Prasetya yang tak henti-hentinya tersenyum. Di sampingnya ada Nafisah yang kini menjadi bagian keluarganya juga. Kini anaknya akan menjadi dua. Sungguh, Prasetya beruntung memiliki Nafisah yang akan mendampingi dirinya sepanjang hidup.

Hingga malam telah menjelang, tak ada sekalipun tanda-tanda tenda putih itu akan terasa sepi. Semuanya masih hiruk pikuk dalam keramaian. Mereka yang ada di dalam sana tengah berbahagia. Menyampaikan selamat dan doa restu pada kedua mempelai. Hingga saat yang di tunggu-tunggu telah tiba. Acara yang paling di nantikan oleh orang-orang. Ketika korps pedang pora TNI angkatan darat mulai melaksanakan aksinya. Beberapa orang berpakaian rapi telah berbaris berjejeran. Mereka telah siap dengan pedang yang akan di hunuskan ke atas sebagai simbol gapura untuk kedua pasangan melewati bahtera rumah tangga.

Setya mulai berjalan melewati gapura itu bersama Nafisah. Setelah acara-acara penghormatan itu di laksanakan. Setelah mereka melewatinya, orang-orang itu membentuk sebuah lingkaran kemudian kembali menghunuskan pedang di atas kepala Prasetya dan Nafisah. Nafisah tak bisa berhenti tersenyum. Pasalnya ia begitu bahagia. Begitu pula dengan Prasetya. Serangkaian acara berjalan dengan sangat baik. Raja dan ratu itu telah kembali di giring pada kursi pelaminan. Mereka duduk disana. Berdua. Setya mulai menggenggam tangan Nafisah.

"Saya mencintaimu", ucapnya tiba-tiba.

Nafisah tersenyum. Ia tak bisa berkata apapun lagi. Pasalnya ia telah cukup bahagia malam ini. Semuanya sangat sempurna. Tenda putih ini sebagai saksinya. Betapa murninya cinta keduanya. Bahkan Nafisah tidak pernah membayangkan akan duduk bersanding dengan pria itu. Tidak sama sekali dalam pikirannya. Bahkan ketika mendiang Mediterania selalu memintanya untuk mendekati Setya. Nafisah hanya mengiyakan karna perihal ia tidak mau menyakiti perasaan sahabatnya saja. Sisanya, ia separuh hati. Namun lain pada malam ini. Semuanya seperti telah di atur oleh yang maha kuasa.

Jantungnya bahkan berdetak lebih cepat daripada seharusnya kala Prasetya mengatakan kalimat itu. Kalimat sederhana yang sangat luar biasa. Kalimat sederhana yang masih saja terngiang di telinganya bahkan sampai saat ini. Ia bahagia. Benar-benar bahagia. Mungkin dia telah jatuh cinta. Ah, masa bodoh. Jatuh cinta padanya sama halnya menjatuhkan diri pada tumpukan bunga yang mewangi. Menakjubkan. Tak bisa di ungkapkan lagi. Nuansa putih ini, menjadi pertanda bahwa cintanya benar-benar suci, putih bersih bagaikan tenda pengantinnya saat ini.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang