"sampai kapan?", Kata seorang gadis yang berdiri di depan bangsal putih.
Ia menghela napas. Rasanya ia telah lelah. Air matanya tak kuasa untuk ia tahan. Matanya telah sembab. Mungkin sudah sejak tadi gadis itu menangis. Tubuh lemah di depannya membuat air matanya terus mengucur deras. Tubuh itu memilki sifat yang begitu keras kepala. Tak mau mendengarkan siapapun. Walaupun ia sendiri bahkan merasa begitu sakit dengan keadaannya sendiri.
"Tenanglah... Aku baik-baik saja naf"
"Med, ayolah kembali ke tanah air. Disana kamu akan lebih mudah mendapatkan perawatan daripada di daerah berkonflik seperti ini", katanya. Tangisnya pecah.
Nafisah tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk membujuk Mediterania. Ia tidak tahu lagi bagaimana Mediterania akan mendengarkan kata-katanya. Ia telah habis upaya. Keteguhan hati gadis itu begitu kuat dan kokoh. Tak mungkin bisa ia hancurkan dengan mudah. Pasti ada cara untuk membuat gadis itu mengerti. Untuk membuatnya tidak sebebal ini.
"Naf, anggap saja ini permintaan terakhirku. Jika aku harus mati tidak masalah akan hal itu, jika aku masih di takdirkan bernapas aku juga bersyukur. Artinya, Tuhan masih memerlukan aku untuk menebarkan cinta dan kasih sayang pada sesama"
"Kamu terlalu naif. Cobalah berpikir logis med, mana Mediterania yang selalu mementingkan logikanya?"
"Dia telah mati Naf, kesalahanku berpikir seperti itu. Itu sangat menyakitkan. Andai waktu bisa berputar seperti apa yang aku mau Naf. Aku akan lebih berpikir tentang hatiku agar hari ini aku tidak menyesal. Tapi yang sudah, aku bisa terima ada pembelajaran yang ingin Tuhan sampaikan bukan?"
"Med..."
"Naf, ku mohon jangan membuat perdebatan. Ku mohon jangan katakan apapun kepada atasanku atau kepada siapapun"
Nafisah menghela napasnya. Entah sudah berapa kali mereka berdebat tentang hal itu. Berdebat tentang kondisi Mediterania yang semakin hari semakin buruk. Tapi tak sama sekali di hadapan orang lain, gadis itu akan mengeluh atau sekedar menampakkan bahwa dirinya sedang sakit. Bahkan, akhir-akhir ini Medi sedikit menggunakan riasan di wajahnya agar tak tampak wajahnya yang pucat pasi.
"Naf, jika kamu membiarkan aku melakukannya aku akan sangat berterima kasih padamu"
"Tapi aku yang akan berdosa med"
"Hey... Aku juga dokter di angkatan darat. Aku tahu sumpah dokter juga Naf", katanya. Gadis itu tersenyum simpul pada Nafisah.
"Demi Tuhan, seorang dokter harus bisa merahasiakan apapun yang ia ketahui dari pasien"
Nafisah menghela napas. Entahlah dia begitu lemah dihadapan Mediterania. Medi membentangkan kedua tangannya. Meminta sebuah pelukan manis dari sahabatnya itu. Nafisah membuang wajahnya. Namun kemudian tubuh kecilnya segera memeluk tubuh Medi yang masih terbaring pada bangsal. Tidak ada yang tahu mengenai Medi yang selalu tidur di bangsal. Gadis itu memang memerlukan sebuah infus dan beberapa suntikan. Terkadang obatan-obatan yang ia perlukan pun harus di masukan melalui cairan infus. Tangannya bahkan telah mati rasa dengan sakit yang ia terima. Tak mampu lagi untuk merasa ketika jarum-jarum itu mulai menghujamnya. Semuanya akan terasa biasa saja. Karena saking seringnya.
"Terima kasih Naf, sudah menjadi sahabatku yang paling setia, yang paling baik"
"Karna aku menyayangimu"
"Aku juga"
Dan begitulah akhirnya. Perdebatan antara keduanya selalu berakhir dengan haru. Dengan pelukan manis. Tapi keduanya tidak sadar dengan kehadiran seseorang yang tengah menatap mereka. Seseorang yang mendengarkan semua perbincangan mereka. Orang itu berdiri di ambang pintu. Bersembunyi di balik dinding-dinding putih. Mata hijaunya terus memandang ke arah Mediterania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benteng Merah Putih
RomanceSebelum baca silahkan baca cerita "ANTARA LEBANON" Aryandra Prasetya memiliki cita-cita suci untuk meneruskan perjuangan mendiang ayahnya Serma Setya Susanto yang gugur dalam tugas perdamaian di Lebanon. Lalu bagaimanakah perjuangan Setya muda mener...