Pada Akhirnya

1K 95 2
                                    

Setya duduk seorang diri di bangku depan sekolah. Ia menatap anak-anak yang bermain dengan riangnya. Sesekali ia tersenyum melihat tingkah mereka. Akhir-akhir ini tak melihat Ilona. Sudah dua atau tiga hari mungkin. Ilona juga tidak nampak muka juga. Gadis itu tak pernah ada di sekolah atau bahkan disekitar markasnya. Ia menghela napas. Pikiran tentang Ilona dan Mediterania seakan membuatnya kacau. Ia butuh seseorang yang dapat mendengarnya. Ia tak memerlukan saran. Hanya ingin di dengar itu saja tidak lebih.

"Kenapa rupanya?", Tanya Rama yang tiba-tiba ikut duduk di sampingnya.

Napas laki-laki itu memburu. Terengah-engah. Bermain dengan anak-anak membuat Rama begitu lelah. Tapi ia sangat menikmatinya. Ia berhenti ketika melihat sahabatnya termenung seorang diri. Sahabat mana yang akan tega melihat sahabatnya yang lain sedang bersedih. Untuk itu, ia memilih berhenti dan duduk di samping Prasetya.

"Tidak ada"

"Hei! Jangan bohong kau padaku"

Setya terkekeh. Ia memang tak pernah bisa berbohong sama sekali. Walaupun sudah sebisa mungkin ia sembunyikan nyatanya Tetap saja sama. Rama selalu mengetahui apa yang tengah ia rasakan.

"Masalah Ilona?", Katanya.

Setya tertegun. Sebenarnya ia sedikit terkejut sebab ia tidak pernah mengatakan apapun pada Rama mengenai Ilona. Rama hanya mengetahui tentangnya dan Mediterania saja. Ia menatap Rama. Namun pria itu tampak begitu santai. Seakan-akan ia telah mengetahui segalanya.

"Jangan tanya kenapa aku bisa tahu. Aku tahu tentang Ilona yang suka dengan kau"

"Bagaimana bisa?"

"Set, siapapun yang melihatnya menatapmu akan tahu akan hal itu. Untuk apa Ilona selalu meminta bantuanmu, mengajakmu pergi di hari liburmu? Sering datang ke markas kita? Caranya memandangmu, tersenyum padamu sudah lain jelas dia menyimpan rasa"

"Iya betul"

"Kan sudah ku bilang"

"Ram, sebenarnya kemarin dia mengatakan perasaannya. Tapi saya tolak"

"Lalu?"

"Mungkin dia marah"

"Kamu juga suka kan sama dia?"

"Sedikit saja"

"Lalu kenapa kamu tolak? Medi masih jadi ratunya?"

Setya mengangguk. Meskipun ia juga mencintai Ilona, tapi rasa cintanya pada Mediterania tak bisa terganti. Medi masih terus melekat dalam benaknya sebagai cinta pertamanya. Bahkan ia sendiri tidak tahu harus bagaimana untuk menghapus Medi. Seakan-akan Medi lah yang kini membawa kunci untuk hatinya dan enggan mengembalikan kunci itu untuk membuka hati Setya untuk siapapun. Ilona hanya masuk melalui celah-celah yang tersisa tanpa bisa berkuasa sepenuhnya.

"Ilona juga menekan saya untuk tinggal disini bersamanya. Saya tidak bisa berkhianat pada negara saya. Dia berbeda dengan Medi. Saya dan Ilona tidak satu frekuensi. Itu sebabnya saya merasa sangat bersalah padanya"

"Hei set! Kau telah melakukan hal yang tepat. Ini tentang tugas dan negaramu. Kau telah melakukan hal yang benar"

"Begitu?"

"Iyalah. Sekarang jika aku di posisimu, aku juga akan melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan!"

Setya mengangguk. Ia juga merasa tentang memilih negaranya jauh lebih baik daripada apapun. Faktanya memang dia mencintai Ilona. Tapi fakta selanjutnya, dia jauh mencintai negaranya. Bahkan dia rela untuk mati asalkan itu demi Indonesia.

"Apa hari ini, anak-anak akan melaksanakan cek kesehatan", tanya Setya kemudian.

"Iya"

"Apa itu jadi dilaksanakan?"

"Iya. Jadi apa yang membuatmu pergi bersama letnan Gilang kemarin kalo tidak untuk mengambil beberapa obat-obatan yang di perlukan?"

Setya terkekeh. Ia menatap Rama yang menatapnya dengan sinis. Kemudian menepuk bahu itu sembari masih tertawa. Terkadang Rama memang sangat lucu menurutnya. Entahlah, hanya dia yang bisa membuatnya kembali tertawa setelah Mediterania. Tak beberapa lama, mobil-mobil dari bagian kesehatan datang ke halaman sekolah. Anak-anak itu tampak begitu ketakutan. Namun dengan sigap, Rama segera menenangkan mereka. Memberi penjelasan pada mereka tentang apa yang akan dilakukan orang-orang yang baru saja datang. Satu-satu orang turun dari mobil. Mereka mulai membangun tenda darurat dan meletakan semua peralatan yang mereka bawa disana.

Setya melihat beberapa dari mereka adalah bagian dari tim medis cube. Tapi ia juga tahu beberapa diantaranya juga berasal dari markas sebelah. Ia mengenal beberapa orang seperti sersan Andi, sersan Yogi dan lainnya. Mereka adalah orang-orang yang sama di tempat tugas Mediterania. Setya mulai berdiri. Ia berharap, Mediterania juga ada disini. Meskipun sekali saja mereka akan bicara. Itu tidak masalah untuknya.

Jantungnya mulai berdebar begitu hebat. Aliran darahnya tak beraturan. Seakan-akan ada yang memacunya untuk bergerak lebih cepat daripada biasanya. Yah, dia ada disini. Gadis yang selama ini ia cari. Gadis berambut pendek sebahu. Dengan mata hitam tajam begitu bening. Mediterania berdiri disana, mengomandoi segala sesuatu disini. Sekali saja, lihat kesini. Pada arah seorang pria yang menantimu dengan sangat. Merindumu dengan begitu hebat. Ia sama seperti dulu. Masih sangat cantik. Ia sama seperti dulu, masih sangat tegas dan berwibawa meskipun dia adalah seorang wanita.

Setya mulai melangkahkan kakinya. Tangannya begitu gemetar. Tapi ia harus menemuinya. Kali ini, ia harus bicara meskipun hanya sebentar. Meskipun Medi akan menolaknya untuk yang kesekian kalinya. Tapi ia harus bicara dengan Medi. Ia harus tahu betapa selama ini hanya Medi lah yang sedang ia cari. Yang tengah ia nanti.

"Medi..."

Medi membalikkan tubuhnya. Ia mendapati pria yang begitu di rindunya. Ia menatap Setya beberapa saat. Hampir saja air matanya turun. Tapi di tahannya sepenuhnya. Ia tak ingin menangis setelah sekian lama. Ia tak ingin terlihat lemah. Ingin dia memiliki Prasetya lagi. Tapi ia tidak egois. Ia memikirkan Prasetya sebab dia begitu mencintainya. Pertama, ia dan Prasetya tidak bisa bersama sebab agama yang menghalangi mereka. Kedua, mereka tak bisa bersama sebab, jika mereka tetap kukuh untuk bersama, salah satu harus rela meninggalkan karirnya. Dan yang ketiga yang membuatnya matang untuk meninggalkan Setya adalah karena saat ini dia sakit dan suatu saat jika mereka bersama, pasti dia akan sangat terpukul akan hal itu.

"Hai", katanya.

Tak ada lagi kata yang bisa mereka ungkapkan. Keduanya saling pandang kemudian tersenyum. Bibir mereka seakan membisu satu sama lain. Hanya dua pasang bola mata yang saling berpandangan. Saling mengatakan kerinduan yang dirasa. Entah itu Setya atau Mediterania. Semuanya merasakannya. Di tanah ini, di depan gedung tua yang begitu bersejarah, pada akhirnya mereka bertemu. Mencapai pada titik rindu sesungguhnya. Pada akhirnya, takdir mempertemukan. Setelah sekian lama saling mencari, saling merindu, saling mengirim doa meskipun berbeda tapi semuanya kembali pada aamiin yang sama.

Benteng Merah PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang