Chapter 12 : What the ----

5.5K 396 8
                                    

Holaaa ❤️

ROBERT UP!!!

ADA YANG NUNGGU?
Maaf ya kali updatenya lama, akhir-akhir ini aku buntu nulis. Tiap kali mau nulis tiba-tiba otakku mampet, dan malah lancar ke cerita yang satunya.

Kedepannya aku usahakan up dua kali dalam seminggu ya 🙏🖤🖤

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YANG BANYAK, SUPAYA UP NYA MAKIN CEPAT JUGAAA 🖤

HAPPY READING GUYSS 🖤

ENJOYYYYY AND LOPE U ALL 🖤🖤🖤

❄️❄️❄️❄️❄️

Robert tersenyum melihat map yang berisikan data mengenai Gaby sudah ada di atas mejanya pagi ini. Sesuai dengan perintahnya pada Alec kemarin, pagi ini data mengenai Gaby sudah tersedia di mejanya dan ia hanya tinggal membacanya saja.

Senyum miring Robert langsung tercetak di wajah polos-nya begitu ia membaca data Gaby yang ada di dalam map itu. Data dalam map itu mengatakan kalau Gaby adalah seorang mahasiswi di Universitas Oxford jurusan Psikologi Komunikasi. Bukankah itu menandakan kalau perempuain itu pintar?

Tidak diketahui orangtuanya, bekerja di sebuah toko bunga dan sudah berhenti bekerja dari Club. Setiap bulan, rekeneing Gaby selalu terisi dari rekening yang tidak diketahui milik siapa.

Pasti uang dari kekasihnya yang berperawakan paruh baya serta identitasnya juga disembunyikan. Batin Robert.

Robert menutup map itu dengan senyum miringnya. Sudah pasti kekasih Gaby itu bukan dari kalangan orang biasa. Melihat bahwa Alec juga tidak bisa menerobos informasi itu. Selain itu, untuk ukuran mahasiswa yang hanya bekerja di toko bunga dan sebuah club malam, dari mana Gaby bisa membeli seekor anjing husky dan membayar sewa apartemen yang mewah?

Semua orang juga tahu kalau apartemen tempat Gaby tinggal bukanlah apartemen untuk mahasiswa yang mendapat beasiswa. Si pemberi beasiswa tidak akan mau membayar sewa apartemen setahun yang setara dengan uang kuliah di oxford selama setahun juga hanya untuk tempat tinggal satu orang penerima beasiswa. Akan lebih baik jika si pemberi beasiswa memberikan uang untuk sewa apartemen itu pada penerima beasiswa lainnya.

Selain itu, orang tua Gaby juga sudah tidak ada. Semua itu terasa semakin mustahil apabila seluruh fasilitas Gaby. Sepertinya bekerja di toko bunga itu hanya sebagai kedok saja. Ditambah lagi, Gaby sudah berhenti dari club. Bisa dipastikan kalau yang menyuruh Gaby berhenti bekerja adalah kekasih-nya.

Robert tertawa pelan mengingat bagaimana Gaby sempat menuduhnya–yang sayangnya benar-  dulu dan mengatakan dengan lantang kalau niat menolongnya dulu hanyalah sebuah pencitraan –yang lagi-lagi adalah benar- untuk menutupi kebusukannya.

Ternyata Gaby tidak sebaik yang ia pikirkan. Mereka sama saja. Perempuan itu menuduhnya dengan sangat lantang, tapi dibalik itu, Gaby juga sama sepertinya. Membuat yayasan untuk menutupi kebusukannya. Dan kebodohan Robert saat ini adalah menjadi donatur terbesar yayasan tersebut. Hal itu sama saja menjadikan Gaby semakin terlihat polos dan baik hati.

Robert menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Gaby menuduhnya padahal kenyataannya mereka sama saja? Ia tidak boleh membiarkan Gaby menang. Ia akan membuat perempuan itu  terjebak bersamanya. Setidaknya jika ia ketahuan suatu hari nanti, maka Gaby juga harus ketahuan bersamanya.

Robert mengambil ponselnya dan menghubungi Jeremy. Tidak butuh waktu lama ketika pemuda dari seberang itu mengangkat panggilannya.

“Aku ingin bertemu dengan Gaby hari ini, siapkan pertemuanku dengannya. Secara private.” Ucapnya lalu mematikan ponselnya tanpa mau mendengar balasan dari Jeremy.

D E S T I N YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang