Kesempatan Keduamu - 10

17.4K 791 17
                                    

Hadiwinata merangkul Andini saat Dokter kepercayaan keluarga itu sedang memeriksa Mutia. Saat Dokter Iren memegang perut bawahnya, Mutia tersentak lalu terbangun dengan wajah ketakutan.

"Tenang mut, ini tante," kata Dokter Iren.

Mutia menoleh, melihat kedua orang tuanya memperhatikannya dengan wajah cemas. Mutia tidak kuasa menahan kesedihannya. Ia pejamkan mata pasrah, membiarkan air mata mengalir turun di pipinya. Dia sudah tidak mungkin lagi menyembunyikannya, Dokter Iren pasti dengan mudah mengetahui kehamilan ini.

Dokter Iren berdiri dengan senyum sumringah usai memeriksa Mutia, "Pak Hadiwinata ini bagaimana? Masa saya disuruh datang memeriksa Mutia? Mestinya Mutia ini datang bersama suaminya ke dokter spesialis," kata Dokter Iren.

Hadiwinata dan Andini saling memandang bingung. "Jadi gimana Ren keadaan Mutia? Dia baik baik aja atau perlu kita bawa ke rumah sakit?" Tanya Andini.

"Mutia gak sakit Din, malah ini kabar bahagia untuk kalian," jawab dokter Iren sumringah.

"To the point aja sebenarnya Mutia kenapa?!" Hadiwinata serius bertanya, membuat suasana yang semula hangat menjadi kaku seketika.

"Mutia tidak sakit. Gejala yang dia alami itu hal biasa bagi seorang perempuan yang sedang hamil muda. Perkiraanku, kandungannya sudah memasuki lima minggu,"

"APA?!"

Dokter Iren malah bingung melihat mimik wajah Hadiwinata yang berubah marah sedangkan Mutia berlinangan air mata di ranjangnya.

"Iren, terima kasih atas kehadiran kamu," Andini segera merangkul Dokter Iren keluar dari kamar Mutia, bahkan Andini berusaha menjawab rasa penasaran Iren soal sikap Hadiwinata dan Mutia, Andini mengiyakan semua yang Iren katakan. Iya, jika Mutia sudah menikah. Iya, jika pernikahan itu hanya dihadiri keluarga inti saja karena Mutia masih ingin melanjutkan kuliah.

Hadiwinata berdiri sambil mengepal tangannya marah lalu dia berbalik menghampiri meja, menyapu bingkai-bingkai foto dan segala pernak pernik hiasan kamar Mutia yang terpajang di meja belajarnya. Semua barang di meja berhamburan, bingkai foto itu pecah saat membentur lantai, membuat serpihannya semburat.

Mutia menutup telinganya saat mendengar bunyi pecahan itu. Dia keluar dari selimut, beringsut terlutut memeluk kedua lutut ayahnya sambil sesegukan, "Maafin Mutia Ayah... Maafin Mutia..." Mohonnya dalam derai air mata.

"TEGA KAMU MENCORENG MUKA AYAH!" Teriak Hadiwinata sambil menghempaskan kakinya seakan jijik dengan Mutia. Belum puas meluapkan amarahnya Hadiwinata kemudian menghampiri bingkai foto keluarga yang terpajang di dinding lalu menariknya paksa dan membantingnya ke lantai.

"Astagfirullah Mutia!" Andini terkejut saat melihat putrinya terduduk di lantai di antara serpihan beling sambil menangis. Andini membantu Mutia berdiri, dan melihat suaminya sudah gelap mata karena emosi.

Hadiwinata mendekati lemari pakaian Mutia, membukanya dan mengeluarkan semua isinya.

"PERGI KAMU DARI RUMAH INI! PERGI!" Teriak Hadiwinata.

"Istighfar Ayah!" Mohon Andini.

"SURUH DIA PERGI! AKU MENYESAL! MENYESAL..."

"Ayah cukup! Bunda bilang cukup!" Sambar Andini bernada tinggi, berusaha menghentikan sikap suaminya yang sudah tidak terkendali.

"AKU MENYESAL MEMUNGUT ANAK SEPERTI DIA!" Hadiwinata menyelesaikan ucapannya.

Jantung Mutia seakan berhenti beberapa detik setelah mendengar kalimat terakhir yang Hadiwinata ucapkan. Mutia melepaskan rangkulan Andini, tiba tiba saja dia merasa asing pada dirinya sendiri. Sementara Hadiwinata meninggalkan kamar, tidak peduli pada perasaan istri dan anaknya. Dia terlalu kecewa. Banyak impian dia gantungkan pada putri sematawayangnya namun semuanya hancur.

Kesempatan KeduamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang