40. Sebuah Alasan

7.6K 401 3
                                    

Sebelum Hadiwinata meninggalkan ruangan, dia menyempatkan untuk menengok sel yang ditempati Julian. Dia meminta salah seorang petugas membuka pintu selnya. Posisi Julian masih tidak berubah sama seperti saat Mutia datang. Terduduk di antara rantai yang mengikat kedua kakinya. Hadiwinata memandangi Julian dan merasa lega. Sampai saat Hadiwinata berbalik hendak meninggalkan sel, samar-samar suara tawa terdengar di antara keheningan.

Hadiwinata menoleh, memandang pundak Julian yang bergerak-gerak sementara suara tawa itu berasal dari bibir pucat itu.

"Dasar bodoh!" Ucap Julian lirih seperti hanya ditujukan untuk Hadiwinata.

Julian mengangkat kepalanya, memandang Hadiwinata dengan tatapan menghunus. Jelas Hadiwinata bergidik kaget.

"Kamu fikir aku benar benar gila?!"

"Ap... Apa maksudmu?!"

"Semestinya kamu berterima kasih karena aku dianggap gila. Karena jika tidak, kamu akan mendekam di dalam sel busuk ini bersamaku Hadiwinata!"

Hadiwinata tercengang mendengar kata kata Julian yang terselip ancaman di sana. Apalagi melihat tawa kecil bak ular yang nampak di wajah Julian, sepertinya dia serius dengan ucapannya.

"Dia sudah menghina kamu Hadiwinata. Awalnya dia meniduri anakmu dan kini dia menikahinya. Bodohnya kamu diam saja?!" Kata Julian.

"Mutia sendiri yang memintanya! Kamu fikir aku sudi merestui mereka?!" Sergah Hadiwinata.

"Tapi kamu membiarkan pernikahan itu terjadi! Dan anakmu akan ditiduri setiap hari oleh pemerkosanya?"

Hadiwinata merenggut pistol dari dalam sarung yang terpasang diikat pinggangnya, menodongkannya pada kepala Julian dengan tatapan emosi. Dia menarik pelatuknya, tapi Julian hanya tersenyum tidak takut. Dia yakin jika semua yang diucapkannya memang adalah kebenaran dan Hadiwinata membenarkan semua itu di dalam hatinya.

Hadiwinata marah sekaligus jijik mendengarnya, sementara dia membayangkan Mutia dengan kenyataan putrinya itu sudah menikah secara sah dengan Dassa.

Senyum ular Julian berikan sambil memandang Hadiwinata saat menemukan raut ragu itu, "Bagaimana anggapan orang jika mereka semua tau yang sebenarnya?"

"Diam atau aku bunuh kamu!" Hadiwinata balik mengancam. Julian terkekeh sama sekali tidak merasakan takut.

"Semestinya kamu tidak memusuhiku Hadiwinata. Kita sama sama korban. Aku melakukan semua itu karena aku tidak bisa melihat anakku menderita."

Hadiwinata perlahan menurunkan pistolnya. Kali ini wajah Julian menyiratkan keseriusan dan Hadiwinata merasa alasan yang dia katakan memang masuk akal. Hadiwinata pun rela melakukan apapun asal itu demi Mutia.

"Kita berdua tau, anak anak kita saling mencintai." Julian semakin membuat Hadiwinata yakin.

"Jadi kamu mau aku melakukan apa?" tanya Hadiwinata. Julian tersenyum tipis mendengar kalimat yang sejak tadi sudah dia tunggu-tunggu.

...

Mutia sampai di rumah, saat sampai di kamar ia melihat Dassa sedang sibuk mengganti pakaian Satya sambil mengajaknya bicara.

"Jangan nangis yah, Mama mungkin lagi pergi sebentar ke supermaket..." Dassa berusaha memasangkan kancing baju anaknya.

Lama Mutia berdiri di pintu sampai tidak sengaja Dassa menoleh dan pandangan mereka bertemu. Mutia mendekati ranjang dan duduk di samping Dassa.

"Satya terbangun ya?" tanya Mutia sambil mengecup lengan Satya gemas.

"Tadi popoknya penuh, tapi Bi Ririn sudah menggantinya. Aku ganti bajunya karena dia agak keringetan. Satya sepertinya haus Mut." cerita Dassa.

Mutia mengambil Satya dengan kedua tangannya dan mulai menyusuinya.

"Kamu dari mana?" tanya Dassa sambil membereskan baju baju yang telah dipakai Satya.

"Pergi sebentar ke supermaket..." jawab Mutia singkat sambil memandangi wajah Satya yang mulai lelap. Mutia berharap Dassa tidak bertanya lebih jauh.

"Ekhem!" Suara Nisa terbatuk.

Mutia dan Dassa kompak menoleh ke arah pintu dan melihat Nisa berdiri dengan koper di sampingnya.

"Kalian ngapain? Jangan bilang kalian mau melakukan itu di kamar Satya?" Tanya Nisa.

Dassa dan Mutia berpandangan dengan wajah memerah. Mutia bahkan seperti tertampar karena kata-kata Nisa seperti sesuatu yang baru teringat olehnya.

"Terus yang lo lakuin dengan muncul tiba tiba di rumah ini tuh apa?" Sambar Dassa.

"Gue mau numpang tinggal di sini. Bokap gue marah marah terus karena gue sempat minta pindah kuliah di Adelaide. Kalian kan tau gue baru patah hati, jadi gue butuh suasana hening buat berfikir." Cerita Nisa dengan wajah sedih.

Dassa menghampiri Nisa lalu melempar lirikan sebalnya, "Kayaknya gak cuma lo deh yang butuh suasana hening..." kata Dassa lirih dengan makna ganda lalu melewati Nisa untuk kembali masuk ke kamarnya.

Nisa tidak mengambil hati apa kata kata Dassa, dia mengenal pemuda itu bahkan lebih dulu dari Mutia. Dassa memang mudah marah, ceplas ceplos dan bukan tipe pemikir panjang, tapi Nisa tau Dassa tak benar benar bisa marah tanpa alasan. Nisa menghampiri Mutia yang sibuk memakaikan Satya sarung tangan.

"Aku senang ada kamu di sini, besok Dassa kan udah mulai masuk kantor dan aku akan kesepian," kata Mutia.

"Apa kalian berdua sudah..."

"Ate Nisa, aku aja baru besok empat puluh hari..." Kata Mutia seraya menirukan suara Satya sambil menggerak-gerakkan tangan Satya, mengingatkan Nisa tentang masa nifas Mutia.

"Iya yah, masih nifas berarti. Hehehe..." Gurau Nisa.

Mutia membiarkan Nisa duduk dan menggendong Satya, "Sebenernya aku mau tanya pendapat kamu soal sesuatu."

Suasana berubah serius saat Nisa memandang raut resah Mutia. Nisa menebak, ini ada kaitannya soal Roy.

"Apa?"

"Tentang perasaan aku ke Dassa. A-Aku sayang sama Dassa. Tapi kalau untuk melakukan itu, sepertinya aku belum bisa. aku..."

"Lo trauma?"

Mutia tidak mampu menjawabnya...

"Kalau ditanya siap gak siap, ya... Dalam hal apapun kita gak akan pernah siap. Jadi seorang ibu juga lo belum siap kan? Tapi buktinya bisa seiring berjalannya waktu?" Tutur Nisa.

Mutia tersenyum tipis mendengarnya, sambil berpikir sambil ia membenarkan apa kata Nisa dalam hati.

"Mungkin tanpa sadar lo belum bisa lupa sama masa lalu. Perasaan lo sepertinya sama dalamnya kayak Roy. Cuma lo udah punya kekuatan lain untuk bisa menatap jauh ke depan. Sekarang lo memiliki sebuah alasan." Lanjut Nisa sambil menunduk, memandang Satya yang masih menyusu pada Mutia.

"Apa?"

"Satya..."

Kesempatan KeduamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang