Dassa baru sampai di restoran tempatnya bekerja tapi dia di larang masuk. Teman sekerjanya bilang, manager akan segera menemuinya untuk membicarakan sesuatu. Dassa berdiri saat managernya keluar dari ruangan. Tapi tanpa mengatakan apapun, pria muda mengenakan jas yang sama tingginya dengan Dassa, tiba tiba melemparkan uang ke wajah Dassa.
"Kamu pikir restoran ini milik nenek moyang kamu?! Kamu baru diterima bekerja tapi seenaknya datang dan libur tanpa izin. Kamu DIPECAT!"
Dassa mengepal kedua tangannya, coba menguasai keadaan. Dia membutuhkan pekerjaan ini demi Mutia. "Tolong jangan pecat saya. Tolong... Saya butuh pekerjaan ini." Pinta Dassa.
"Kemarin istri saya masuk ke rumah sakit. Tolong pahami keadaan saya. Dia sedang hamil besar..."
Manager itu hanya bersidekap, melirik Dassa dengan tatapan merendahkan. "Ambil uang itu, dan pergi."
"Tolong pak," Dassa merendahkan dirinya, dia ambil lengan terbalut jas itu, memohon kebijaksanaannya untuk memahami posisinya. Setidaknya dengan bekerja, Dassa tidak akan menambah beban pikiran Mutia.
Tapi manager itu menarik lengannya jijik lalu menampar wajah Dassa. Dua detik setelah ditampar Dassa sudah berhasil merenggut kerah kemeja manager itu dan mengangkat kepalan tangannya tinggi. Namun tiba tiba Dassa melepaskan cengkraman tangannya, menurunkan kepalan tangannya. Dia memunguti uang itu kemudian berbalik dan pergi.
Lima ratus ribu, uang ini takkan cukup untuk biaya melahirkan Mutia. Bahkan Dassa takkan mampu mengajak Mutia berbelanja keperluan bayi mereka yang sebentar lagi lahir.
Menuju stasiun Dassa melewati sebuah toko perhiasan. Langkahnya terhenti, dia melihat sebuah cincin yang dipajang di etalase paling depan. Dassa tersenyum lebar sambil membayangkan jika cincin itu tersemat di jari manis Mutia.
Dassa tidak pernah sekalipun memberikan Mutia hadiah, benar benar hadiah sebagai seorang laki laki pada perempuan yang dicintainya.
"Aku akan melamar kamu Mutia... Tapi apa kamu akan menerimanya?" Gumam Dassa lirih lalu melihat penjaga toko dan bertanya, "Mas, cincin yang ini berapa ya?"
"Itu lebih dari dua juta. Udah sana, gak mampu beli kan?" Kata si penjaga ketus.Dassa melanjutkan langkahnya, dia tidak tersinggung ataupun marah karena memang itulah kenyataannya. Dia memang belum mampu membelinya.
***
Tanpa dipersilahkan masuk, Hadiwinata sudah lebih dulu melangkah masuk dan duduk di kursi, sedang Mutia masih berdiri terpaku di depan pintu.
"Rasanya secangkir teh bisa jadi teman obrolan kita, Mutia." Kata Hadiwinata dan itu baru menyadarkan Mutia untuk berjalan ke dapur dan membuatkan teh. Sepeninggal Mutia, Hadiwinata memandangi seisi rumah.
Tangan Mutia gemetaran saat menuang air panas di dalam panci ke dalam cangkir. Sakit di perutnya terasa, tapi rasa takutnya kian membuat Mutia gugup. Mutia mengaduk cangkir itu dengan bunyi denting yang berantakan bahkan hingga Hadiwinata bisa mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Keduamu
RomanceDassa menjadikan Mutia sebagai alat balas dendamnya pada Roy, karena sepupunya itu beserta ayahnya adalah penyebab Dassa menjadi anak yatim piatu. Tapi siapa yang menyangka, jika bukan Roy yang hancur karena Mutia akhirnya mengandung melainkan Dassa...