22. Dia Butuh Kamu

10.5K 556 9
                                    

Roy masuk ke dalam ruangan, lemas raganya melihat Mutia terbaring dengan wajah pucat. Roy berdiri di samping ranjang lalu mengambil tangan Mutia yang tergeletak lemah, dia genggam erat jemari lentik itu. Dia pandangi wajah Mutia, seraya berkata lirih, "Maaf Mut... Maaf... Aku gak sengaja mendorong kamu,"

"Dia terus menangis mencemaskan janinnya..." Suara Dokter yang berdiri tidak jauh dari ranjang membuyarkan tatapan dalam Roy, dia sadar tidak hanya berdua di ruangan ini.

"Gimana keadaan Mutia dok?" Tanya Roy.

"Istri anda hanya pendarahan karena benturan ringan. Bisa bapak liat di monitor kalau janinnya baik baik saja. Sebentar lagi bapak akan punya teman bermain bola," canda si dokter ramah.

"Bayinya laki-laki dok?"

Si dokter mengangguk dengan senyum tipis. "Istri bapak disarankan menginap malam ini karena kami tetap harus mengobservasi keadaannya..." Kata si dokter sebelum meninggalkan ruangan.

Roy kembali memandangi Mutia setelah menatap layar hitam-putih hasil USG yang menampakkan janin di rahimnya. Hati Roy kembali tersayat. Dia menarik kursi dan duduk di samping ranjang, Roy tidak kuasa menahan kecewanya. Dia menggenggam tangan Mutia bahkan dia mendekap tangan itu erat, membiarkan amarah berupa air mata mengalir turun dari sudut matanya.

Bagaimana mungkin Mutia mengalami semua ini tanpa sepengetahuannya? Bagaimana mungkin Mutia bisa terseret dalam masalah keluarganya sedangkan dia sangat rapat menyembunyikan hubungan keduanya? Mutia menanggung semuanya seorang diri? Bahkan kini dia dibenci oleh ayahnya sendiri... Dan hal yang paling bodoh adalah Roy percaya jika selama ini Mutia bahagia dengan orang lain.

"Maafkan aku Mutia, maafkan aku karena gagal menjaga kamu... Maafkan aku karena aku gak ada di saat kamu membutuhkan aku... Maafkan aku atas semua ini," Mohon Roy lirih sambil menggenggam jemari Mutia erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.

Dari pintu yang setengah terbuka, Dassa memandangi pemandangan itu dengan wajah terluka... Dassa mendengar kalimat penyesalan Roy yang mendalam, dan dia tidak bisa berbuat apa apa. Rasa bersalah itu kembali terasa, bahkan mampu mengubur dalam-dalam rasa bencinya. Kini yang ada di hadapannya adalah sepupunya, teman bermainnya semasa kecil dulu, dan Dassa sudah merenggut paksa apa yang Roy jaga. Dassa sudah merebut paksa apa yang Roy cintai. Ternyata... melihat Roy hancur juga menghancurkan perasaan Dassa.

"Kamu sudah mencintai Mutia, Dassa..." Suara Nisa terdengar dari balik punggung Dassa.

"Dari mana kamu tau?" Tanya Dassa.

"Tidak lagi memikirkan diri sendiri, demi membuat seseorang bahagia, apa itu bukan cinta?" Nisa balik bertanya.

Dassa tersenyum pilu lalu berkata, "Bagaimana bisa kita mencintai seseorang yang tidak mengharapkan kita,"

Nisa terkekeh dengan air mata berjatuhan, setuju dengan apa yang Dassa katakan. Roy keluar dan saat bertemu mata dengan Nisa, Nisa lebih memilih menghindar dengan masuk ke dalam untuk menemani Mutia membiarkan Dassa dan Roy berdua di luar.

"Dua-duanya baik baik aja," Roy buka suara dengan nada dingin dengan kedua jemari mengepal, menahan emosi yang masih kewalahan ditahannya. Dassa mengangguk dengan wajah lega sambil berkata, "Syukurlah..."

"Kalian berdua dalam bahaya. Terutama Lo Dass," kata Roy menceritakan soal apa yang dia dengar soal pembicaraan Julian dan Hadiwinata.

"Gue tahu cepat atau lambat semua ini pasti terbongkar dan lo harus janji satu hal Roy..."

Roy menoleh begitupun Dassa, "Lo harus selalu ada buat Mutia. Dia harus bahagia..." Pinta Dassa.

"Lo ngomong apa?! Lo kira gue sama seperti papa yang akan membiarkan sesuatu terjadi sama lo?!" Kata Roy ketus.

Kesempatan KeduamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang