Dassa melihat belakang mobil mewah itu, menghafal nomor platnya sambil terus berlari mengejar sekuat tenaga, "MUTIA!" Teriak Dassa.
Dassa terus berlari bahkan tidak peduli banyak orang memperhatikannya. Dia tidak ingin jauh dari Mutia, dia sudah berjanji, tidak akan membiarkan Mutia menghadapinya sendirian. Jika ada hukuman yang pantas untuk perbuatannya, Dassa siap menerimanya. Asalkan jangan pisahkan dia dengan Mutia...
'Mutia aku ingin bilang ... Walau aku merasa tidak akan pantas untukmu setelah semuanya... Tapi aku mencintaimu... iya, itu perasaan yang ada dalam hatiku...Aku merasakannya Mut... Apa kamu bisa merasakan itu... Apa kamu akan memberiku kesempatan? Apa kamu akan percaya padaku?'
Dassa mengusap sudut matanya dengan lengannya. Dia memutuskan memotong jalan dengan berbelok melewati jalan kecil, dan hampir menabrak apapun yang ada di depannya. Pundak-pundak orang yang kebetulan sedang melintas tidak luput dari kepanikan Dassa. Bahkan tong sampah tidak sengaja terguling di tengah jalan memaksa Dassa untuk melompat tanpa sedetik pun ingin menghentikan langkahnya.
Sampai di jalan besar Dassa melihat mobil Hadiwinata di depannya, ia mempercepat langkahnya, "MUTIA!" namun teriakannya memanggil-manggil tidak membuat mobil itu terhenti.
Lampu merah di depan menyala, mobil Hadiwinata terpaksa berhenti. Dassa melihat ke dalam kaca, dia menggedor-gedor kaca hitam pekat itu dan melihat Mutia di kursi belakang sedang memegangi perutnya sambil merintih sakit.
Mutia menoleh, menemukan wajah panik Dassa yang berusaha menggedor kaca mobil sambil meminta Mutia membuka kacanya. Mutia melihat wajah sedih dan panik Dassa meski suaranya tidak mampu terdengar, tapi Mutia mengerti apa yang Dassa katakan.
"Ayah, ada Dassa. Tolong buka pintunya! Biarkan Mutia bertemu Dassa..." Mohon Mutia, berusaha bicara meski dirinya seutuhnya diliputi rasa sakit karena bayinya bergerak mencari jalan lahir.
"Tidak. Lebih baik kamu tidak bertemu dia lagi. Setelah kamu sampai di rumah sakit, Ayah akan urus penangkapan dia," kata Hadiwinata.
Mutia meletakkan telapak tangannya di kaca, dan memandangi wajah Dassa yang masih berteriak minta dibukakan pintu. Air mata Mutia berjatuhan, orang yang dulu dia benci... orang yang telah menghancurkannya karena dendam... orang yang mengubah seketika hidupnya... Kini menjadi orang yang paling Mutia ingin ada di sampingnya...
'Pergi...' pinta Mutia tanpa suara.
Dassa mengerti apa yang Mutia katakan, dia menggeleng tidak setuju.
"Aku... Aku cinta sama kamu Mut, aku gak akan biarkan kamu sendirian!" Kata Dassa berteriak.
Mutia mampu mengeja setiap kata yang Dassa ucapkan dari balik kaca walau tidak mendengar suaranya, Mutia tersenyum dalam sakitnya. Lampu hijau menyala, dan Hadiwinata menginjak pedal gas membuat laju mobil berjalan dengan kecepatan tinggi, tidak terkejar oleh Dassa.
Tapi Dassa takkan menyerah, dia menghadang sebuah taksi, wajah paniknya membuat si sopir membuka kaca mobilnya, "Mas kenapa mas?!"
"Tolong pak, saya butuh tumpangan. Saya harus cepat sampai ke rumah sakit... Saya..."
Belum selesai Dassa menyelesaikan kata katanya, penumpang yang semula duduk manis di jok belakang tiba tiba keluar, "Silahkan,""Terima kasih pak," Dassa mengejar mobil Hadiwinata dengan taksinya. Di dekat sini hanya ada satu rumah sakit besar. Dassa yakin Mutia di bawa ke sana.
Hadiwinata melihat Mutia belum berhenti menangis sambil menahan sakit. Terbesit seutas pertanyaan tentang kebenaran dari apa yang Julian ceritakan soal pemaksaan Dassa pada Mutia, apa jika dipaksa Mutia bisa sesedih ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Keduamu
RomantizmDassa menjadikan Mutia sebagai alat balas dendamnya pada Roy, karena sepupunya itu beserta ayahnya adalah penyebab Dassa menjadi anak yatim piatu. Tapi siapa yang menyangka, jika bukan Roy yang hancur karena Mutia akhirnya mengandung melainkan Dassa...