Dassa dan Mutia berada di dalam ruangan sedang Nisa memilih menunggu di luar. Mutia mengelus kaki mungil Satya sambil memandang suaminya yang lekat menatap anaknya sedih. Mutia meletakkan jemarinya di punggung tangan Dassa, "Kamu khawatir sama Satya ya?"
Dassa refleks menarik tangannya, seakan enggan bersentuhan dengan Mutia.
"Dulu mama pernah cerita, kalau dia pingin banget dipanggil Ummi. Sewaktu aku bayi, setiap hari mama selalu manggil dirinya Ummi... Ummi... Tapi kamu tau gak, setiap kali mama menyebut Ummi aku malah memanggilnya, Ma... Mama..." Cerita Dassa dengan wajah sedih walau dia mencoba tersenyum. Kemudian Dassa berdiri, mengusap sudut matanya dengan lengannya.
"Aku keluar sebentar," katanya lalu berjalan keluar, meninggalkan Mutia hanya berdua dengan Satya.
Dassa tidak mampu bertanya soal cincin itu. Yang ada dia malah menceritakan masa kecilnya yang penting baginya tapi mungkin tidak penting untuk Mutia.
Nisa melihat Dassa berjalan begitu saja tanpa membalas sapaannya, memutuskan mengejar. Dassa duduk di kursi taman, di bawah sinar bulan yang masih menghias malam. Nisa duduk di samping Dassa, memperhatikan raut sedih itu.
"Mau sampai kapan kita hidup seperti ini Nis? Hidup dalam bayang-bayang masa lalu orang lain?" Tanya Dassa sambil menoleh pada Nisa.
Kesedihan Dassa ternyata bukan karena Satya... Tapi Mutia. Dan nasibnya tidak jauh berbeda dengan Nisa. Dassa menunjukkan sebuah cincin dalam genggamannya yang ia buka di hadapan Nisa.
"Apa hubungan mereka sudah sejauh itu?" Tanya Dassa lirih, sejujurnya tidak sanggup menanyakan itu namun dia perlu tahu. Dan anggukan Nisa menjawab pertanyaan itu. Keheningan yang menyelimuti keduanya semakin membuat rasa sakit di hati keduanya kian terasa.
"Seperti hanya mimpi, bisa dicintai oleh orang yang kita cintai..." Gumam Dassa, tersenyum namun yang ada di wajahnya hanya kepedihan.
Nisa memandang Dassa lekat, diam-diam merasa bersalah mendengar apa yang Dassa ucapkan. Bagaimanapun dulu dia pernah memanfaatkan Dassa dengan menyatakan perasaannya hanya untuk melihat reaksi Roy.
"Kalau gue pergi, apa Mutia akan mencari gue?" Gumam Dassa asal.
Nisa terkekeh mendengarnya, lalu memandang Dassa kemudian berkata, "Yakin lo mau pergi? Lo mau tinggalin Mutia? Gue gak yakin lo berani ninggalin mereka Dass..."
Dassa tersenyum, "Kok lo bisa ngomong gitu?"
Nisa menghempaskan nafas penuh beban sambil bersandar di kursi, "Lo cinta banget kan sama Mutia? Gue bisa liat seberapa kecewanya elo saat nunjukin cincin itu. Hufft... Dan kita sama... Kita sedang berjuang sekaligus bertahan sama orang yang kita mohon pada Tuhan supaya dia akan jadi yang terakhir..."
"Gue harus banyak belajar sama lo soal sabar..." Gurau Dassa, membuat Nisa tertawa kecil mendengarnya.
Usai berbincang keduanya kembali ke ruangan, setelah membeli makanan untuk Mutia. Saat Dassa membuka pintu dari jauh dia melihat Mutia tertidur dengan posisi duduk, sedang tangannya memegang kaki Satya. Dassa masuk, meletakkan plastik makanannya di meja. Tidak tega juga melihat istrinya tidur dengan posisi duduk. Pelan pelan Dassa menyelipkan satu tangannya di pundak, dan satu di siku lutut kemudian mengangkat Mutia dan membaringkannya di sofa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Keduamu
RomanceDassa menjadikan Mutia sebagai alat balas dendamnya pada Roy, karena sepupunya itu beserta ayahnya adalah penyebab Dassa menjadi anak yatim piatu. Tapi siapa yang menyangka, jika bukan Roy yang hancur karena Mutia akhirnya mengandung melainkan Dassa...