Mutia terbaring di ranjang, dengan bagian perut yang terbuka sedangkan Bidan mulai menggerak-gerakkan alat transducernya. Dassa berdiri tegang tidak jauh. Ini bukan yang pertama kalinya dia menemani Mutia ke Bidan tapi toh melihat layar hitam putih yang mulai menunjukkan gerakan-gerakan anaknya tetap saja membuat kaki Dassa lemas dan sudut matanya basah karena terharu.
Tiba tiba dalam ruangan yang hening terdengar suara, deg... Deg... Deg... Kemudian bidan berkata, "Nah, ini suara detak jantungnya..."
Tidak sengaja Mutia melihat ke arah Dassa, menemukan senyum langka yang ada di wajah pemuda yang biasanya terlihat garang itu. Diam diam juga Dassa mengusap sudut matanya dengan sikunya.
Selesai pemeriksaan, Dassa membantu Mutia bangun dari ranjang. Keduanya duduk di berhadapan dengan Bidan untuk mendengar hasil pemeriksaan. Melihat wajah pasangan muda di hadapannya, sang Bidan tersenyum, memuji betapa tampan dan cantiknya suami istri ini.
"Bayi kalian sehat, panjang dan beratnya normal sesuai usianya yang sudah melewati trimester pertama."
Mutia mengusap-usap perut menonjolnya sambil senyum lebar.
"Tapi hipertensi [tekanan darah tinggi] ibunya agak tinggi. Dengan penanganan yang baik itu tidak akan berkembang dan membahayakan."
"Apa yang perlu saya lakukan supaya hipertensi Mutia bisa turun?" Sambar Dassa tiba-tiba bahkan sampai menggeprak meja, membuat bidan dan Mutia sontak kaget.
"Tenang pak. Hipertensi pada ibu hamil itu wajar. Salah satu sebabnya adalah sang ibu mengalami stress..."
Mendengar penjelasan bidan, Dassa kembali duduk tenang dan mendengarkan meski pikirannya rumit. Mutia mengalami stress pasti karena dirinya, pasti karena sikapnya pada Julian kemarin, pasti karena pekerjaannya, pasti juga karena Mutia merindukan orang tuanya, dan pasti karena keadaan ini bukanlah keadaan yang dia ingini. Dan pasti karena Mutia merindukan Roy...
Pulang dari pemeriksaan rutin di bidan, Dassa dan Mutia berjalan berdampingan menuju rumah. Dari kaca-kaca jendela rumah warga, Mutia kadang memandangi pantulan dirinya. Tiba tiba saja, Mutia iseng bertanya, "Dassa, aku gendut yah? Aku pasti anehkan pakai kaos kamu yang ukuran kebesaran ini?"
"Kaosnya pas di kamu kok," jawab Dassa sambil menahan senyum. Dalam hati malah Dassa memuji jika Mutia semakin terlihat manis ketika mengenakan kaos hitam putih berlengan pendek miliknya dengan rambut tergerai panjang. Memang perutnya yang semakin terlihat menonjol membuat Mutia agak gemuk.
"Berarti aku gendut banget dong!"
"Enggak kok. Kamu gak gendut, cuma agak besar..." Canda Dassa. Mutia memukul pundak Dassa kesal.
"Eh iya iya. Bukan agak besar, tapi bulat..." Dassa makin menggoda Mutia.
Mutia berjalan lebih dulu sambil memegang pinggangnya mempercepat langkahnya meninggalkan Dassa. Dengan mudah kaki jenjang Dassa mensejajarkan langkahnya dengan Mutia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Keduamu
RomanceDassa menjadikan Mutia sebagai alat balas dendamnya pada Roy, karena sepupunya itu beserta ayahnya adalah penyebab Dassa menjadi anak yatim piatu. Tapi siapa yang menyangka, jika bukan Roy yang hancur karena Mutia akhirnya mengandung melainkan Dassa...