Dokter meninggalkan Dassa bersama Mutia di ruang rawatnya. Mutia duduk di samping ranjang, sejak tadi hanya memandangi Dassa yang belum sadar tanpa ingin berkata apa apa. Mutia masih terbayang perbuatan Dassa di cafe tadi, Dassa seperti orang kesetanan saat mencekik leher Julian. Tatapan bencinya itu seakan menyiratkan dendam yang mendalam. Seakan Julian telah melakukan kesalahan yang tidak akan bisa Dassa ampuni.
Tapi kesalahan apa? Dan apa itu sebab mengapa Dassa juga membenci Roy, sampai akhirnya Mutia jadi ikut tersangkut di dalamnya?
Ponsel Dassa yang tergeletak di meja bergetar. Mutia mengangkatnya, takut jika itu adalah telepon penting. Terdengar suara panik Bi Ririn diujung telepon sana. Mutia menceritakan singkat keberadaan dan keadaan Dassa saat ini. Kepanikan terdengar, bahkan Bi Ririn dan Mila langsung bergegas menuju stasiun.
...
Bi Ririn perlahan membuka pintu kamar rawat Dassa lalu menutupnya kembali saat berada di dalam. Wanita tua itu berdiri terpaku saat melihat pemandangan di hadapannya. Pemandangan yang membuat dua sudut bibirnya melengkung ke atas. Mutia duduk dan tertidur, keningnya beralas di lengan Dassa yang belum sadar. Air mata Bi Ririn seketika jatuh, namun ia usap buru-buru.
"Anak yang malang... Semoga kebahagiaan kelak berpihak pada kalian," gumamnya lirih.
Mendengar suara langkah, Mutia membuka mata. "Bibi, maaf Mutia ketiduran." Kata Mutia sambil kembali duduk tegak. Bi Ririn mengambil kursi untuk duduk di samping Mutia.
"Bi, Dassa tadi seperti kesetanan. Dia tega membenturkan kepala Om Julian ayah Roy ke kaca bahkan mencekiknya lalu teman teman Om Julian memukulinya agar Dassa melepaskan tangannya dari Om Julian,"
Bi Ririn mengambil tangan Mutia lalu menggenggamnya sambil tersenyum tipis, "Bibi ingin menceritakan sesuatu..."
"Bibi, Dassa harus dihukum. Dia sudah sangat keterlaluan memperlakukan orang yang lebih tua dengan tidak pantas!" sambar Mutia.
"Dengarkan dulu cerita ini, setelah itu terserah kamu. Bahkan jika kamu ingin pergi, bibi pun tidak akan melarang..."
Kemudian Mutia hening, memberi kesempatan dan mulai mendengarkan...
"Kala itu itu ada seorang pemuda jatuh cinta pada seorang gadis, pemuda itu sangat mencintai gadis itu. Tapi kemudian dia kecewa, sangat kecewa karena gadis itu ternyata sudah memiliki pria pilihannya...
... Pemuda itu tidak bisa menerima kenyataan, dia dendam dan berniat akan membalas sakit hatinya. Tahun berikutnya pemuda itu akhirnya menikah... Tau siapa yang dia nikahi?" Tanya bi ririn.
Mutia menggeleng, wajahnya menyiratkan rasa penasaran.
"Pemuda pendendam itu menikahi kakak dari gadis yang amat dia cintai. Mereka terlihat bahagia dengan pernikahannya masing masing, bahkan mereka sama sama dikaruniai seorang anak laki laki yang tampan...
... Suatu hari masalah besar menghampiri gadis itu bersama suaminya. Dalam keadaan yang sulit dan terjepit itu tidak ada pilihan lain selain memohon bantuan dari pemuda pendendam yang telah menjadi kakak iparnya.
... Tapi bukan bantuan yang diterima melainkan kabar buruk... Suaminya meninggal karena serangan jantung. Gadis itu tidak bisa menerima kenyataan, bahkan untuk tetap hidup tegar demi anaknya pun bukanlah alasan kuat untuknya.
Tidak berselang lama setelah suaminya meninggal gadis itu juga memilih menyerah pada hidupnya. Dia bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya menggunakan pisau. Membuat anak mereka menjadi yatim piatu hanya dalam hitungan hari,"
Bi Ririn berkaca-kaca sambil teringat kejadian memilukan itu tapi sebelum melanjutkan ceritanya dia melihat Mutia, melihat Mutia mengusap sudut matanya yang basah.
"Anak laki laki itu baru berusia kurang dari lima tahun saat menyaksikan ayahnya meregang nyawa juga saat dia melihat jasad ibunya ditemukan berlumuran darah di dalam kamar karena memotong nadinya. Sementara pemuda pendendam itu tetap tidak memiliki perasaan iba, kecuali anak dari lelaki pendendam itu... dia memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan ayahnya. Namun karena itu, mereka jadi bermusuhan. Kasian mereka. Mereka hanya anak anak yang terkena imbas dari kerumitan masa lalu orang tuanya." Bi Ririn mengusaikan ceritanya.
"Kasihan anak laki laki itu. Dia mungkin takkan bisa tidur nyenyak selama hidupnya. Dia masih terlalu kecil untuk dibebankan semua itu," kata Mutia sambil memegang perutnya seakan tidak ingin hal serupa terjadi pada anaknya.
"Jika aku jadi anak yatim piatu itu, aku juga akan membenci pamannya. Tapi bi, apa kisah ini nyata?"
Bi Ririn meletakkan telapak tangannya di perut Mutia sambil mengusapnya dan mengangguk singkat. "Anak laki laki malang itu adalah ayah dari anakmu Mutia..."
"Dassa..." Mutia terperangah sambil memandang Dassa yang masih terpejam. Mutia menggeleng, tidak percaya, tidak mungkin.
"Laki laki pendendam itu adalah Julian..."
Mutia masih tidak percaya. Dia memandang Dassa lekat dan ingin menanyakan langsung tentang kebenaran kisah ini
"Bibi membawa Dassa ikut bersama bibi karena bibi takut Dassa akan semakin menderita jika harus tinggal dengan Julian. Bibi merawat Dassa... Membesarkannya... bibi berusaha memberinya kasih sayang walau itu takkan sesempurna milik orang tuanya. Bibi sudah berusaha... namun hanya satu yang tidak bisa bibi lakukanbyaitu menghilangkan rasa benci dan dendamnya pada keluarga Julian." Suara Bi Ririn terdengar bergetar di ujung kalimatnya, kemudian dia memandang Mutia lekat.
"Bibi takkan mungkin menemani Dassa selamanya, bibi sudah tua. Bibi mohon maafkanlah Dassa... Jangan hukum dia dengan meninggalkan dia Mutia... Bibi mohon," Bi Ririn mengantupkan kedua tangannya memohon di depan Mutia.
"Kalau Mutia ingin membalas kesalahan Dassa, balaslah pada bibi... Apapun akan bibi terima asal jangan pada Dassa..." Pinta Bi Ririn sambil mengambil tangan Mutia dan hendak dia pukul-pukulkan ke pipinya namun Mutia menahan, bahkan menarik tangannya.
"Dia berubah sejak ada kamu, bibi bisa merasakannya... Dassa sudah menemukan tujuan hidupnya, dia akan hidup lebih baik untuk kamu... Untuk anak kalian... Bibi mohon berikan dia kesempatan kedua untuk menjadi seorang manusia, untuk bisa menjadi seorang ayah, untuk bisa memiliki keluarga..." Bi Ririn terisak.
Mutia memeluk Bi Ririn membiarkan perempuan renta ini menangis di pundaknya.
Pintu terbuka, seorang suster masuk lalu ramah berkata, "Permisi keluarga pasien Dassa Tyas Permana?"
Bi Ririn mengusap wajahnya buru buru lalu menoleh dengan senyum, "Iya sus,"
"Maaf bisa ikut kami sebentar ke ruang informasi, ada data data pasien yang harus dilengkapi,"
Bi Ririn mengangguk sambil berdiri lalu mengikuti suster meninggalkan Mutia dan Dassa berdua.
Mutia mengusap sisa linangan air matanya sambil memandang wajah Dassa. Tangan Mutia terulur ragu namun diam-diam dia menggenggam jemari Dassa erat. Tidak ada kata-kata yang mampu terucap dari Mutia kala itu, dia hanya bisa melakukan itu sebagai bentuk kepeduliannya dan permintaan maafnya atas banyak sikapnya yang tidak pantas pada Dassa.
Walau... Rasanya tetap tidak mungkin semudah itu melupakan apa yang telah Dassa lakukan padanya. Tapi Mutia akan mencobanya, benar-benar mencoba untuk bisa menerima semua kenyataan ini.
Benar benar berusaha untuk berdamai dengan kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Keduamu
RomanceDassa menjadikan Mutia sebagai alat balas dendamnya pada Roy, karena sepupunya itu beserta ayahnya adalah penyebab Dassa menjadi anak yatim piatu. Tapi siapa yang menyangka, jika bukan Roy yang hancur karena Mutia akhirnya mengandung melainkan Dassa...