Kesempatan Keduamu - 12

12.3K 611 13
                                    

Mutia menelan lagi sumpah serapahnya.
Si kecil Rindy menarik narik kemeja Dassa meminta perhatiannya, saat Dassa menunduk Rindy membuka buku gambar yang Dassa belikan beberapa hari lalu. Dassa mengangkat wajahnya, memandang ke arah Mutia dan ternyata Mutia masih menatap ke arahnya.

"Kita semua sayang kak Dassa..." Kata Dio tiba tiba lalu memeluk kaki jenjang Dassa dan semuanya mengikuti tingkah Dio.

Robby mulai membagikan kotak makanan pada tiap anak, seperti biasa salah satu dari mereka memimpin doa sebelum makan. Selesai berdoa, anak anak itu mulai menyadari kehadiran Mutia, begitu pun Robby yang sedang menggigit ayamnya kelaparan.

"Mukanya kaya gak asing, tapi gue pernah lihat dia di mana yah..." Gumam Robby.

"Kak, ini punya aku buat kakak," Rindy memberikan nasi kotak miliknya. Mutia terlutut lalu menggeleng sambil tersenyum, "Kakak gak lapar kok, buat kamu aja yah..." Kata Mutia.

"Jangan buat dia kecewa." Bisik Dassa lirih.

Mutia akhirnya mengambil kotak itu lalu ikut duduk. Sedang Dassa menghampiri Rindy, lalu memberikan nasi kotak miliknya, "Nah ini buat Rindy... Kakak Dassa udah kenyang banget, nih perutnya sampai kembung..." Kata Dassa sambil mengusap-usap perutnya, membuat anak anak lain tertawa.

Mutia memandangi anak anak ini, tidak ada raut takut atau terpaksa dalam tawa mereka. Kedekatan anak anak ini dengan Dassa seakan karena sudah lama mengenal dan karena kebaikan hati Dassa. Bukankah anak kecil itu tak bisa berbohong? Apa yang mereka ucapkan dan lakukan semua berasal dari apa yang mereka rasakan...

Mutia menggeleng, mengenyahkan kata hatinya. Dassa tidak mungkin seperti itu, ya mungkin saja kebaikannya hanya karena iba pada anak anak jalanan ini. Kalau memang dia baik, dia takkan pernah menghancurkan hidupnya seperti apa yang sudah dia lakukan. Mengingat semua itu makanan yang dipandangi Mutia kembali ia tutup, ia enggan memakannya. Dassa memperhatikan sikap Mutia. Bahkan saat Mutia berdiri dan mulai pamit pada anak anak, dan berjalan pergi. Dassa memutuskan menyusulnya.

"Kenapa lo gak makan?" Tanya Dassa sambil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Mutia.

"Aku gak habis pikir sama kamu, kamu ngasih mereka makan pake uang haram?!" Jawab Mutia ketus.

Dassa menggenggam tangan Mutia, menahan langkah marah itu. "Uang haram?! Nyokap lo kecopetan gak jauh dari para pedagang itu, dan gue ada di sana. Itu juga yang gue lakuin ke semua pedagang, gue menjaga mereka supaya mereka bisa dagang tanpa diganggu preman-preman, terus mereka ngasih gue uang, apa itu uang haram?!" Dassa memberikan penjelasan dengan berapi-api.

"Iya. Itu uang haram! Dan aku sama sekali gak ingin anak ini makan dari uang haram,"

Dassa tersenyum miris, dia coba menahan emosinya yang tersulut, seandainya saja Dassa tidak ingat jika lawan bicaranya ini perempuan dan sedang mengandung anaknya, mungkin Dassa sudah gelap mata dan bisa melakukan tindakan apapun yang dia mau. Tapi kali ini Dassa memejamkan mata, membuka matanya kembali dan berkata, "Apapun yang coba gue jelasin, lo gak akan percaya, lo akan tetap benci sama gue, tapi uang ini..."

Dassa mengeluarkan sisa uangnya di saku, "Ini uang hasil menjual Vespa gue, lo bisa pegang. Itu halal, jadi gue mohon... Lo jangan sampai gak makan,"

Dassa genggamkan uang itu ke dalam tangan Mutia.

"Kamu pegang aja uang itu. Oke, aku mau makan, syaratnya kita berjauhan. Aku gak biasa makan dengan orang yang gak aku kenal." Kata Mutia.

Perdebatan usai dengan Mutia duduk di salah satu pedagang nasi goreng, ia makan dengan lahap sedang Dassa duduk agak jauh hanya menunggu Mutia makan. Dassa hanya bisa memandangi Mutia dari dua meja di samping Mutia karena itu syarat yang Mutia minta agar dia mau makan.

Dassa tidak menolak, dia tidak punya pilihan. Dia ingat apa kata Dokter, dan dia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Mutia dan janinnya.

"Dassa, itu istri lo yah?!" Bisik si penjual nasi goreng. Dassa terbangun dari lamunannya.

"Lo itu ngingetin gue pas jaman bini gue hamil, ya ampun... Ya kayak gini, makan aja gak mau satu meja... Tidur gak mau sekamar... Untung aja masih mau serumah," gurau si tukang nasi goreng, membuat Dassa terkekeh begitu pun pengunjung lain yang tak sengaja mendengarnya.

"Sabar, nanti juga dia bisa nerima... Asal lo juga gak capek nurutin maunya dia... Itu bawaan bayi. Yah mendingan begitu sih, dari pada lo yang nyidam, itu lebih sengsara," si tukang nasi goreng menepuk-nepuk pundak Dassa memberi semangat.

Dassa tidak berkata apa-apa, dia hanya memandangi Mutia sambil sesekali menyeruput air dingin di gelas.

Selesai Mutia makan, mereka menuju stasiun. Di stasiun Bi Ririn sudah menunggu dengan dua tas berisi baju Dassa dan Mutia. Di dalam kereta, Mutia dan Bi Ririn duduk bersebelahan sedang Dassa duduk di kursi depan.

Bi Ririn menggenggam tangan Mutia, memahami kecemasannya. Tapi saat ini, memang hanya inilah jalan terbaik untuk dia dan Dassa. Bi Ririn mengeluarkan sesuatu dari amplop, dua buku nikah beserta surat surat lainnya lalu memberikannya pada Mutia. Dia lalu membuka salah satu bukunya, ada fotonya beserta tanda tangannya, walau dia tidak pernah merasa menandatanganinya. Mutia menatap Dassa sambil mengernyitkan keningnya.

"Dassa yang buat, sewaktu kamu di rumah sakit. Dia cuma mau, kamu gak dihina siapapun, apalagi menghina kandunganmu," bisik Bi Ririn.

"Ini kriminal!" Mutia marah dengan suara tercekat.

"Dia tahu, tapi gak perduli. Dia bilang, kamu sudah lebih banyak menderita karena dia," Bi Ririn merangkul Mutia, coba meredam emosinya.

Ketiganya turun saat kereta yang mereka tumpangi berhenti di salah satu stasiun kecil setelah satu jam perjalanan. Dassa membawa semua bawaan, sedang Bi Ririn berjalan bersama Mutia di depan. Rumah Bi Ririn tidak jauh dari stasiun. Sembari berjalan malam itu, Bi Ririn sambil bercerita bagaimana suasana di kampung itu, para tetangganya dan kebiasaan-kebiasaan di sana.

Tak ada rumah mewah, yang ada hanya rumah rumah sederhana yang dipisahkan kebun rindang antara satu rumah dengan rumah lainnya. Kampung itu masih dipenuhi banyak pohon yang rimbun. Bi Ririn berhenti, lalu menghadapkan Mutia pada satu rumah sederhana dengan lampu temaram yang menerangi bagian terasnya.

"Ini dia rumah kami," kata Bi Ririn.

Bi Ririn mengetuk pintu rumah sambil memanggil, "Mil... Mila..."

Tak lama pintu terbuka, wajah ngantuk Mila anak gadis Bi Ririn muncul dari balik pintu. Dia mengucek matanya sambil tersenyum menyambut ibunya pulang. Namun saat membuka mata dan melihat kemunculan Dassa, kedua mata Mila membulat tidak percaya. "Kak Dassa?"

Mila refleks merentangkan kedua tangannya hendak memeluk kakaknya tapi Dassa langsung merangkul Mutia di pundak dan menariknya mendekat sambil berkata, "Mila, kenalin ini istri kakak namanya Mutia,"

Mutia menoleh-menengadah memandang wajah Dassa, ingin dia hempaskan rangkulan tangan itu tapi Mutia menjaga perasaan Bi Ririn dan adik Dassa ini.

Mila baru menyadari jika ibunya dan Dassa datang bersama orang asing yang tidak dia kenal. Mila menjabat tangan Mutia sambil memalingkan wajahnya kesal. Bi Ririn menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah anaknya yang masih saja posesif terhadap Dassa yang sudah dianggapnya seperti seorang kakak.

"Ayo masuk, gak baik malam malam begini ibu hamil masih di luar rumah," kata Bi Ririn sambil membuka pintu lebar lebar.

Mila bagai disambar petir untuk yang kedua kali saat mendengar perkataan ibunya. Dia memandangi punggung Mutia tidak senang, apalagi saat Mutia digandeng ibunya masuk ke dalam rumah.

"Gimana sekolah kamu hah?! Pasti masih sering bolos?" Tanya Dassa sambil mengacak-acak rambut Mila ketika mereka duduk di ruang tamu.

"Seru tahu bolos!" Jawab Mila dengan wajah dongkol.

Saat Bi Ririn memperlihatkan kamar yang akan Mutia dan Dassa tempati, Mutia malah menoleh ke arah pintu memandangi Dassa dan Mila yang sedang berbincang akrab.

Kesempatan KeduamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang