Dassa tidak juga bisa tidur, banyak kecemasan di dalam kepalanya. Soal Mutia, soal bayi mereka yang tinggal hitungan bulan akan lahir. Sedang kedatangan Roy dan Nisa, bahkan Andini... Semua menegaskan jika Julian dan Hadiwinata hanya perkara waktu untuk muncul di sini.
Ditambah perasaan bersalah Dassa saat berada dekat dengan Roy. Apa Roy bisa memaafkannya? Atau setidaknya Roy bisa menjaga Mutia jika sesuatu terjadi padanya?
Bagaimana nasib bayi itu jika hal terburuk terjadi pada Dassa, bagaimana nasib Bi Ririn dan Mila. Jelas mereka akan ikut terkena imbasnya. Sungguh semua itu tidak pernah dia bayangkan akan sampai sejauh ini. Dassa hanya ingin balas dendam. Dia tidak menyangka jika akan semakin melibatkan banyak orang yang ikut menderita karena dendamnya.
Roy masih lelap di sampingnya. Jam menunjukkan pukul empat pagi, Dassa memutuskan keluar dari kamar. Dia hendak duduk di ruang tamu dan ternyata menemukan Mutia sudah terbangun. Mutia menutup pintu kamar pelan lalu berjalan menuju ruang tamu. Dassa berhenti melangkah, memandangi Mutia yang memegangi pinggang dengan satu tangannya sedang satu tangannya lagi memegang kursi hendak duduk, terlihat agak kepayahan. Mutia menghempaskan nafas penuh beban, untuk duduk saja menghabiskan banyak tenaga yang membuatnya sudah lelah.
Dassa sangat merasa bersalah melihat Mutia semenderita itu dengan kehamilannya. Lama Dassa berdiri di sana, bingung harus melakukan apa. Harus darimana dia memulainya? Apa yang harus dia lakukan untuk meringankan beban Mutia? Apa memohon ampun pada Hadiwinata bisa membuat Mutia kembali diterima dan diperlakukan baik oleh orang tuanya? Tapi bagaimana nasib bayi mereka?
Apa membawa Mutia pergi jauh bisa sedikit meringankan beban itu? Tapi Mutia pasti butuh bertemu ibunya. Mutia juga pasti bahagia bisa melihat Roy.
"Dass..."
Suara Mutia membuyarkan lamunan Dassa. Dengan seutas senyum sambil mengucek-ucek matanya seperti masih mengantuk Dassa menghampiri Mutia dan cukup berhasil mengusap diam-diam sudut matanya yang tanpa sadar basah.
"Mut, belum tidur." Kata Dassa sambil duduk di samping Mutia.
"Aku udah coba tidur tapi gak bisa. Gak ada posisi yang nyaman,"
"Dia udah mulai besar yah?" Tanya Dassa, tatapan matanya melihat ke perut buncit Mutia.
"Sudah trimester ketiga," jawab Mutia.
"Mut, kamu kepingin sesuatu gak... Apapun, aku akan cariin buat kamu..."
"Aku gak kepingin apa-apa..."
"Ya udah, aku temenin di sini yah,"
"Aduh!" Mutia beraduh sambil membenarkan posisi duduknya, dia memandangi perutnya lekat. "Kenapa? Apa yang sakit?" Tanya Dassa sudah panik. Mutia mengambil tangan Dassa, dia letakkan di bagian perutnya yang menojol seperti sedang ditendang kaki mungil dari dalam.
Mutia tersenyum melihat wajah Dassa yang terpaku penuh rasa takjub, "Dia belum tidur, dan setiap dia nendang itu terkadang terasa sakit," sambar Dassa. "Aku baca di buku,"
Mutia mengangguk, "Iya, sedikit sakit. Tapi gak apa, aku malah senang. Semakin dia banyak gerak, berarti dia bahagia di dalam sana." Kata Mutia.
Dassa lalu terlutut kemudian menempelkan telinganya di perut Mutia, "Kira kira dia akan ingat gak yah kalau aku sering bicara sama dia kayak gini? Apa dia akan ingat sama suara aku?" Tanya Dassa.
"Dia mulai tenang saat kamu bersuara Dass," sergah Mutia.
"Hei kecil, nendangnya jangan keras keras ya, kasian mama kamu kesakitan..." gurau Dassa, membuat pipi Mutia bersemu merah mendengarnya.
'mama...'
Sebentar lagi dia akan menjadi seorang mama... Mutia tiba-tiba mengusap sudut matanya yang dialiri air mata bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Keduamu
Roman d'amourDassa menjadikan Mutia sebagai alat balas dendamnya pada Roy, karena sepupunya itu beserta ayahnya adalah penyebab Dassa menjadi anak yatim piatu. Tapi siapa yang menyangka, jika bukan Roy yang hancur karena Mutia akhirnya mengandung melainkan Dassa...