Vier - Soll Ich Es Sagen?

1.9K 298 148
                                    

🎶 Now Playing : Listen - Beyonce

Kau tahu tentang rasa jenuh? Pernahkah kau merasakannya? Apa yang kau lakukan ketika merasakan itu? Mengakui atau membantahnya? Kalau aku, untuk saat ini aku akan mengakuinya. Aku sedang jenuh sekarang, sangat jenuh hingga aku tak tahu harus melakukan apa. Aku jenuh menunggu, walaupun aku tahu menunggu sesuatu yang tak pasti namun aku tetap bersikeras untuk bertahan hingga aku sampai pada titik ini. Titik kejenuhan dimana rasanya perasaan ini mulai menghancurkan hatiku secara perlahan namun pasti.
Bodoh, adalah kata yang sering hati ku yang paling terdalam lontarkan padaku. Lucu kan? Bahkan perasaan ku sendiri mengolok ku, lalu masih pantaskah aku bertahan untuk sesuatu yang membuat diriku makin jatuh ini?
Ya, aku harus bertahan. Sekalipun aku jenuh, aku akan tetap bertahan. Ketika aku mengenal cinta dan bodoh karenanya, yang harus aku lakukan adalah melanjutkan kebodohanku. Jika kau tanya demi siapa, tentu saja demi dirimu. Yang tak pernah tahu akan perasaanku. Akankah kau mendengarkan ku ketika aku mengatakan segalanya padamu?

Kalimat panjang yang diucapkan dari DJ radio favoritnya itu selalu berhasil menamparnya. Ia tersenyum miris ketika sadar kata 'bodoh' itu tertuju untuknya. Amplop putih ditangannya tak sengaja di remat kala hatinya mulai terasa nyeri yang tak tertahan.

Matanya masih menatap amplop berbentuk persegi panjang itu, entah harus bagaimana bereaksi ketika Ia menerima surat itu dari dosennya. Senang atau bersedih? Ia bahkan tidak tahu bagaimana perasaan yang sesungguhnya Ia rasakan. Benar-benar bodoh.

Tok..tok.. tok..

Suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunannya, Ia dengan segera memperbaiki ekspresi wajahnya layaknya normal kembali.

"Masuk saja Sung, pintunya tidak terkunci," Ia memang sebelumnya meminta Jisung untuk datang ke ruangannya tepat setelah Ia bertemu dengan dosennya.

Tampak pintu tersebut terbuka, Jisung seperti biasanya masuk kedalam ruangan itu dan duduk dengan tengah dihadapan Changbin. Walaupun begitu, didalam kepalanya sedang menebak-nebak kenapa Changbin memanggilnya. Karena Changbin bukan tipe orang yang suka bertemu banyak orang, termasuk sahabatnya sendiri. Pemuda itu lebih suka menyendiri.

"Amplop apa itu?," Sebelum sempat Changbin memberi tahu, Jisung sudah terlebih dahulu menyadari amplop putih yang sejak tadi Changbin pegang. Tanpa izin Changbin, pemuda itu merampas amplop itu dan segera membaca isinya.

Baiklah, setidaknya Changbin tidak harus repot-repot meminta Jisung untuk membaca isi surat itu.

Kerutan tercetak jelas di kening Jisung, pemuda itu lalu beralih memandang Changbin bermaksud meminta penjelasan agar Ia paham.

"Seperti yang kau baca barusan, aku diberikan kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Jerman," kerutan di kening Jisung makin tampak jelas.

"Kapan kau mengajukannya? Sejak kapan kau sepintar itu? Kau menyuap ya?," Ingin sekali rasanya Changbin tendang mulut Jisung itu sekarang juga, namun dirinya terlalu malas walaupun hanya sekedar untuk berdebat.

"Sialan kau! Pak Jhonny merekomendasikanku, dan inilah hasilnya,"

"Kapan kau akan berangkat?,"

"Secepatnya, mereka tak memberiku banyak waktu," Jisung nampak menghela nafas, Ia menatap Changbin dalam. Dan ketika itu Changbin memalingkan muka.

"Lalu Bangchan? Sudah kau beritahu?," Changbin memainkan jarinya, Ia bahkan tidak yakin apakah berita ini harus Ia beritahu pada Bangchan atau tidak, bisa saja Bangchan tidak akan peduli pada semua keputusannya nanti.

"Aku tidak berencana untuk memberi tahunya, mungkin ini adalah caraku untuk melupakannya. Kau tahu kan, dia tidak akan pernah melihat padaku," terselip nada ke putus asaan dari nada suara Changbin, Jisung mengerti akan permasalahan sahabatnya ini.

[6]Home | ChanBin | Chan x Changbin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang