Fünfunddreißig - Alles Gute Zum Geburtstag Chan!

877 101 17
                                    


🎶 Now Playing : Best Part - Day6





Seseorang pernah mengatakan "Kau rumahku, tempatku singgah, kemudian memilih menetap ketika aku merasa nyaman." Semata-mata bukan hanya omongan belaka. Tak serta merta karena kenyamanan sesaat saja. Realitanya merindu sering jadi saksi, bagaimana afeksi mengorasi sang galaksi. Meminta untuk kembali, memohon untuk bersama untuk waktu yang lama. Meski terasa seperti main-main saja, sejatinya rasa tak bisa dibuat dusta. Yang namanya bahagia kini jadi gantinya.

Tautan tangan makin mengerat, meminta semesta agar usah memisah. Tanpa bibir berbicara, pijatan kecil pada jemarinya meminta untuk tetap tenang dan berjanji semua akan baik-baik saja. Kecupan sayang jadi penawar, cukup manjur untuk mengubah kerutan cemas itu jadi senyuman.

"Apapun yang terjadi, tidak akan ada yang pergi antara kau dan aku. Kita pergi bersama." Hanya anggukan dijadikan sebagai jawaban, sebab bibir sungguh mustahil untuk sekedar berucap. Tak ayal, sesungguhnya Ia tidak akan bisa tenang. Sebelum yang berada di dalam sana keluar. Membawa berita yang diharap baik meski tak mungkin.

"Aku baik-baik saja." Lengkungan tipis menghias, kemudian elusan pada wajahnya membuatnya menjadi lebih tenang, setidaknya rasa gugupnya lumayan ternetralkan. Sang dominan mengangguk pelan, tetap menjaga agar genggaman mereka tak terlepas, tidak akan.

"Sembari menunggu, ingin kuceritakan sebuah kisah?" Pria itu; Bangchan menawar, Changbin sang kekasih hanya mengangguk sambil tersenyum, memberikan gestur bahwa Ia siap mendengarkan Bangchan bercerita.

"Dahulu, ada seorang anak lelaki yang masih sangat belia; masih berusia enam belas tahun kala itu, menyuarakan jiwa pubertas nya yang menggebu. Kau tau, seorang anak yang tengah dalam masa transisi dari bocah ingusan menjadi seorang remaja itu tidaklah mudah, orang dewasa sering menyebut bahwa jiwa remaja adalah jiwa labil, dimana belum bisa memastikan apa yang benar-benar diinginkan.
Barangkali, sama seperti yang anak laki-laki ini rasakan--" Changbin terus mendengarkan bagaimana Bangchan bercerita, Ia tahu Bangchan tak hanya sekedar menceritakan kisah fiktif belaka.

"Dia mengenal cinta pada akhirnya, pada bocah lelaki kecil yang jarak usianya berkisar tujuh tahun. Bayangkan, remaja berusia enam belas tahun jatuh hati pada bocah berusia sembilan tahun. Mungkin terlalu belia untuk mengatakan bahwa itu adalah cinta, namun takdir menjelaskan dengan detil bahwa begitulah adanya, rasa terlarang itu memang nyata. Padahal dia pernah bilang dia tidak akan pernah mencintai anak laki-laki lain selain adik kandungnya sendiri, yang sangat dia sayangi..."

"Tanpa ada yang tahu selain semesta, dua anak laki-laki itu benar-benar menjalin cinta, yang pada dasarnya hanya bisa dimengerti oleh orang dewasa. Dua tahun lamanya rasa itu terjalin, bahkan kalau bisa dikatakan komitmen mereka bahkan lebih baik daripada pasangan yang telah menikah. Hingga ketika anak remaja itu mengatakan segalanya, sebuah tamparan dan tolakan keras didapat. Padahal dirasa tak ada yang salah dari tindakannya, mungkin. Tersungkur karena tinjuan keras yang didapat dari Papanya. Jelas kedua orang tuanya menolak, akal sehat macam mana yang bisa menerima hubungan tak lazim antara sesama bocah itu, terlebih mereka sama-sama seorang laki-laki. Tidak rasional." Sejenak Bangchan menghentikan ceritanya, genggaman pada jemari Changbin makin mengerat. Meminta Changbin untuk terus mendengarkan.

"Anak itu tak mau tahu, menurutnya apa yang Ia lakukan adalah benar. Ia tak butuh pembenaran, apalagi dibenarkan. Dia berontak, pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan adiknya seorang diri bersama dengan mesin uang yang dinamai Papa Mama itu. Anak lelaki itu yakin, tak ada yang salah akan keputusan yang dia ambil. Ia bukannya mau kurang ajar, hanya saja Ia butuh ruang. Dimana ada setidaknya satu suara yang mendukungnya, tidak memojokkan apalagi meminta lari dari kenyataan. Meski tak tega akan adiknya yang mungkin akan jadi korban selanjutnya, Ia tetap memilih pergi. Mencari kebenaran yang suatu saat bisa Ia katakan dengan lantang pada Papanya. Agar Ia bisa membalas tinjuan itu kembali.." Bangchan memandang Changbin, pernik legam itu menyendu, Changbin tersenyum tipis kemudian mengusap kepala kekasihnya itu penuh sayang.

[6]Home | ChanBin | Chan x Changbin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang