Bab 1 Mimpi Pertama

175 19 9
                                    

Liburan semester ganjil tingkat sekolah menengah atas telah usai. Hari ini tepat hari senin, proses belajar mengajar pada Sekolah Tunas Bangsa kembali dimulai. Anak-anak yang datang seolah sibuk dengan urusan diri mereka sendiri. Ada yang sibuk membersihkan ruangan kelas mereka, ada yang sibuk bersendau gurau sebelum bel pelajaran pertama.

Dari ujung gerbang sekolah nampak anak gadis berjalan dengan kacamata sebagai penanda bahwa sosoknya sangat kuper. Bisa dikatakan di Sekolah Tunas Bangsa jarang sekali siswa-siswinya memakai kacamata. Jikalaupun ada yang minus pasti memakai kontak lensa sebagai alat bantu. Dengan tumpukan buku yang di pegangnya kini ia telah sampai di depan ruang kelas yang sangat berisik, akibat ulah teman-temanya yang sangat onar. Maklum dari sekian murid yang ada hanya dia yang sangat pemalu di ruangan kelasnya saja. Walaupun dua tahun telah berlalu, masih saja tidak mampu mengubah pribadi dirinya yang pemalu.

“Hey Ana! Sendiri mulu sih, kok nggak gabung sama yang lain?” tanya Rezky yang sangat bingun dengan sorotan mata yang mengarah ke seluruh ruangan.

“Iya Rezky,” jawab Ana dengan suara parau.

“Kenapa sih Na, kok kamu sendiri mulu? Emang nggak bosan duduk mulu di sini?” tanya Rezky dengan harap bahwa Ana akan menceritakan semuanya.

“Ky ... aku malu sama kamu, sama teman-teman. Aku malu banget. Rasanya aku mau  mati saja. Aku tidak sanggup menahan beban ini seorang diri. Aku mau pindah sekolah. Aku mau ninggalin kamu aja Ky,” kata Ana dengan menahan air matanya meluncur di hadapan Rezky.

Sosok yang selalu ada di dekat Ana dengan niat buat belajar saja. Walaupun cuma niat belajar saja, tapi bagi Ana ... Rezky merupakan teman yang baik. Yah ... karena kegagahan dan kepopulerannya Rezky menjadi bintang di sekolah dan bahkan seluruh siswi mengidolakan dirinya. Bahkan ada yang mengejar-ngejarnya untuk dijadikan kekasih.

“Na ... kamu jangan bilang gitu. Aku tahu kamu akan kuat nahan ini semua.  Aku tahu kamu wanita kuat. Walaupun kamu cukup pendiam di kelas, aku bangga sama kamu. Otak kamu tuh bikin aku iri sama kamu. Kamu wanita yang layak untuk mendapatkan kebahagiaan," tegas Rezky.

“Iya Ky ... aku tahu kamu perhatian sama aku. Tapi dari perhatian kamu terus ke aku, aku akan semakin dikucilkan di kelas ini. Aku tidak tahan Ky ... aku malu berhadapan sama teman-teman yang lain,” ucap Ana semakin menahan air matanya yang udah ada di pelupuk mata.

Bel pelajaran pertama telah berbunyi. Menandakan awal pelajaran akan di mulai. Tapi berhubung ini adalah hari senin, wajib hukumnya bagi siswa-siswi Sekolah Tunas Bangsa mengikuti upacara bendera. Proses berjalan dengan khidmat. Dan upacara telah selesai. Menandakan kegiatan belajar mengajar akan dimulai.

***

“Ana ... tolong kamu bawa semua tugas teman-teman kamu ya, di ruangan Ibu. Sekaligus Ibu mau bicara hal penting dengan kamu.”

Ibu Amel adalah sosok wali kelas di kelas Ana. Sikapnya yang tegas tak pandang bulu. Dia sosok meratakan semua anak didiknya. Tidak ada sistem derajat yang dianutnya. Berbeda dengan guru-guru lain, mereka takut jika berhadapan dengan anak pejabat yang ada di dalam kelas.

Ana pun berjalan melewati beberapa koridor kelas untuk menuju ruangan guru. Untuk menyimpan tugas teman-temannya yang di amanahkan untuk dirinya dari Ibu Amel. Sesampainya Ana di ruangan guru, Ana disambut dengan tatapan yang mampu membuat diri menjadi sangat ketakutan. Berbeda sekali dengan raut wajah Ibu Amel yang ia tampakkan di dalam kelas.

“Na ... sini nak. Ibu mau cerita sama kamu. Nak ... kamu punya masalah apa? Jangan kamu diam terus di kelas. Kamu harus melawan ... buat diri kamu kuat. Nak ... ibu paham sekali kamu takut melawan, karena kamu anak dari kalangan biasa. Tapi, kamu harus ingat! Otak kamu jauh dari teman-teman kamu. Kamu siswi yang cerdas. Walaupun kamu pendiam, tapi kamu mampu menunjukkan kecerdasan kamu lewat olimpiade-olimpiade nasional sampai tingkat internasional. Dan Ibu bangga sekali sama kamu Nak.”

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang