Bab 29 Rindu Bersemi

27 1 0
                                    

Bunga sakura bermekeran dengan indah menandakan musim semi sudah di mulai. Warna yang indah menjadi alasan seseorang akan sangat suka melihat bunga sakura bermekaran bersama pasangan. Berjalan bergandengan tangan menelusuri taman adalah kegiatan kecil di Jepang saat musim semi.

Seseorang yang sangat suka duduk menatap bunga tak henti hentinya bersyukur atas segala kuasa Allah. Memberikan kesempatan kepada setiap hambanya agar tetap mampu menikmati karunia yang diberikan oleh Allah. Bersyukur atas segala nikmat yang selalu datang tanpa pernah berhenti. Kecuali untuk hamba yang kufur atas segala kuasa-Nya.

Aku duduk menatap orang lalu lalang dihadapanku. Menatap bahagia penuh haru atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadaku. Kebersamaan yang sementara tetap kuingat sampai ajal menjemput. Muhammad Alfin, suamiku apa kabar engkau di sana? Lirihku menutup mata.

Sudah lebih tiga jam aku duduk di taman dan aku berniat kembali di rumah. Aku bisa bersantai di kamar sebab hari ahad adalah waktu libur mengajar.

Aku berjalan sekitar 15 menit tuk sampai di rumah sekaligus resto ibu angkatku. Rasanya aku bahagia karena ibu resto mengangkatku menjadi anaknya. Aku selalu bercerita mengenai Alfin. Bagaimana aku rindu selama ini. Bagaimana aku hanya bisa memandangi wajahnya di poto. Semua kucurahkan di ibu.

Setelah lelah berjalan aku sampai di rumah dalam keadaan kosong. Ibu menutup rumah karena ingin ke pasar. Jadi tinggallah aku sendiri sampai ibu pulang. Lelah menghampiriku dengan cepat. Entahlah apa yang terjadi, rasa berat di kepalaku seakan tertimpa timbunan yang beratnya berton-ton, pusingku semakin menjadi jadi, hingga aku membaringkan diri sambil menunggu ibu.

***
Aku berjalan mencari alamat Ana hingga kutemukan restoran yang seperti di gambar yang aku dapatkan dari Anton sekretarisku di Surabaya. Sekarang aku sudah sampai di Jepang, tepatnya di hadapan rumah yang menjadi tempat istriku tinggal selama ini. Aku tahu keberadaannya karena Anton memang handal mencari jejak Ana. Kutekan bel rumah namun tak ada tanda-tanda orang. Kulakukan berulang kali. Tapi ada panggilan dari hatiku agar aku memasuki rumah itu. Hatiku bergemuruh menyaksikan rumah ini sebab aku melewati bagian rumah bukan restonya. Sebab, bagian restoran telah ditutup. Kupandangi semua ornamen rumah ini. Aku tak menyangka istriku bisa berada di rumah yang cukup mewah.

Hancur, semua yang kulihat berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat detik ini, orang yang selama ini aku rindukan harus bersemi dengan hati yang mengenaskan. Entahlah apa yang harus kuucapkan, bersyukur atau bersedih melihat seseorang yang sangat ingin kupeluk dalam rinduku harus kembali berbaring sendiri. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia bisa tertidur di sopa sendiri dengan selimut tebal. Rasa penasaranku memuncak kuat. Bagaikan angin tumbang aku seperti disihir oleh malaikat kecil ini. Tubuhnya yang mungil masih sangat erat dalam ingatanku. Damai aku memandanginya dalam tidur. Aku masih diam di tempat berjarak 10 meter tuk memandagi raut indah dalam ronah wajahnya.

Melangkah hingga aku semakin mendekat. Memperpendendek rindu ini. Tepat aku berdiri di hadapannya. Kini aku duduk di dekatnya. Kuperhatikan setiap garis wajahnya yang masih tertutup jilbab. Kuraba wajahnya dengan lembut. Panas yang kurasa, tiba-tiba aku merasa bahwa ia sedang demam. Kusentuh dahinya memang agak panas.

Kini langkahku semakin jauh menuju dapur. Mencari untuk dijadikan kompres buat dirinya. Kulakukan apa yang kudapat. Kukompres dahinya agar turun demamnya.

"Semoga cepat sembuh istri kecilku," gumamku.

***
Malam telah menyambut, aku telah menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim. Kini kupandangi wajah teduhnya kembali. Sembari mengecek apakah demamnya telah turun, ternyata Alhamdulillah demamnya sudah turun.

Terdapat pergerakan dari tidurnya. Aku hanya duduk terus memandanginya ingin rasanya kudekap ia dalam pelukan. Tapi enggan kulakukan. Matanya kini sudah terbuka. Hingga dua mata kami saling bertemu. Aku hanya tersenyum memandangi keterkejutannya dengan aku berada di depannya.

"Kak, kapan kakak ada di sini?" Kata yang menjadi permulaan pertemuanku.
"Kakak tiba sejak siang, tapi bidadariku tidak datang menyambutku," kubuat wajah ini merajuk seolah.

Auranya berubah, kini Ana menunduk, memalingkan wajahnya di selimut ia pakai.
Aku menarik tangannya agar mampu kugenggam erat. Kusalurkan ketenangan agar ia menjadi rileks. Aku mau membuatnya tenang. Tiba-tiba saja ia terisak dalam pelukanku. Aku bahkan kaget dengan apa yang terjadi. Rasanya aku menjadi suami sangat bodoh membuat ia pergi dari sisiku.
Tiba-tiba aku menangkup wajahnya. Menghapus sisa air matanya.

"Sayangku, jangan pernah berpikir tuk pergi dari sisiku,"
"Kak, ... aku tidak mau membuat kakak jadi anak durhaka," katanya dengan srak menatapku penuh makna.
"An, kau anggap aku suamimu, kakakmu, tapi jangan pernah berpikir pergi lagi. Aku tidak mau berpoligami. Cukup kamu yang menjadi wanita dalam hidupku." Ujarku menatapnya penuh keyakinan.

Tiba-tiba ia mencium tanganku. Memelukku dengan erat. Aku yang mendapat perlakuan seperti itupun hanya kembali membalasnya dengan pelukan yang erat. Kuusap punggunya.

***
Situasi yang hampir tidak kubayangkan telah lewat. Kini, aku sekarang memandangi langit bersama Ana di Jepang. Kujadikan pahanya menjadi bantalan tidurku. Kupegang erat tangannya sambil bershalawat. Dan kurasakan kedamaian karena Ana juga mengusap suraiku.

"Na, kamu sekarang sakit, padahal aku ingin mengajakmu menuju jannah-Nya,"
"Apa hubungannya Kak," ucapnya lugu.
"Kita beribadah sayang tapi beda dengan ibadah lain," kutekan perutnya sampir berujar.

Wajahnya memerah karena perkataanku. Inilah yang selalu kurindukan ketika aku menggaulinya. Entahlah, aku suka membuat hobi menjailinya semenjak menikah.

***

Aku bersyukur atas segala nikmat-Nya
Tak pernah aku berhenti bersyukur telah mendatangkan sosoknya

~Ana Maulida~
Salfiana Ilyas




Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang