Assalamualaikum sahabat Jannah😍
Malam Ahad kembali menyapa ya😉
Sudah lama ya Ana tidak menyapa heheh
Maklumin ya ... Ana lagi nguli jadi keteteran nulis heheh😍😍😍
Jangan lupa ya baca Al Quran dulu
Jangan lupa vote and koment ya😍😍😍***
Perasaan itu masih tetap. Masih namanya yang pernah aku sematkan dalam doa. Ana Maulida. Ya, ialah sosok wanita yang sulit kulupakan. Bagiku ia adalah melati yang amat indah di taman. Cantik, namun sulit kupetik. Hanya harumnya yang dapat kunikmati namun memberiku sesak saat menatapnya.
Setelah pertemuanku di Jepang ini tuk waktu yang lama. Rasanya perasaan ini masih tuk dirinya.
Aku mengajar mahasiswa di Jepang dengan jurusan Ekonomi. Berbeda dengan Alfin yang selalu berada di dekat Ana. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Tapi doaku selalu menyertai.
"Hey, bro lagi ngapai?"
"Gue lagi kerjain penelitian, elo kenapa sih ngerusuh di ruangan gue?"
"Santai mas bro, gue kepikiran sama wanita yang pernah elo ceritain ke gue Rez," ucapnya mengalihkan pikirku kembali.
"Hmmm, dia wanita baik, namun sangat sulit aku memilikinya Man" ujarku.
"Emang dia kenapa Rez," tanyanya dengan memutar tempat duduknya menatapku.
"Dia ... sudah punya suami Man. Dan suaminya adalah temanku semasa SMA." Ujarku meninggalkan Arman.Aku bekerja sebagai dosen namun sekarang diriku sibuk dengan penelitian kampus. Aku ditunjuk membuat penelitian dibidang ekonomi.
***
Masih menatap makanan yang aku masak di apartemen, teringat dalam benakku kata-kata Arman. Ya, sulit kupungkiri bahwa rasaku masih untuk Ana. Tapi, aku tidak mau berharap terlalu jauh.Seusai makan, aku kembali melihat data penelitian yang aku kerjakan bersama asistenku. Namanya Indah, ia adalah wanita berhijab juga yang kukenal di kampus ini. Ia mahasiswi tingkat tiga yang aku ajar. Aku mengenalnya lewat Profku. Tingkat intelektualnya selalu membuatku tertawan memikirkannya. Tapi masih kala dengan pesona Ana.
"Apakah aku menyukaimu?" Gumamku menatap datar penelitian ini. Kubaringkan tubuhku setelah isya agar pikiranku jernih.
***
"Kak, kok aku kepikiran Rezky ya," ucapku memegang tangan Kak Alfin."Mikirin gimana sayang, aku tidak mau kamu menambah beban pikiranmu?" Ujarnya.
"Kak, aku kepikiran Rezky mengenai perasaannya. Hatiku berpikir bahwa dirinya masih menyukaiku kak," kueratkan pegangan tangan Kak Alfin.
"Dek, itu urusan Rezky yang masih menyukaimu. Kalau aku jadi Rezky mungkin sama. Tapi begini saat kita menyukai seseorang maka dengan mendoakan kebahagiaan dirinya itulah bentuk cinta Ana," ujarnya yang membelai wajahku
"Iya Kak. Kak, kalau kakak memilih menikah dengan Dini ... Ana ikhlas kok dimadu." Ucapku menatap matanya.
"Hush, jangan ngawur An, mana bisa aku membagi hatiku buat yang lain. Cukup dirimu di sisiku. Tidak ada yang lain. Jadi, berhenti bahas hal itu." Ku kecup keningnya agar merasakan ketenangan.
Kubaringkan Ana di ranjang agar dirinya merasa tenang. Kutatap wajahnya yang tersenyum.
"Kak, baring di dekat Ana ya," pintanya dengan senyum.
"Iya, Na."Kubaringkan diriku di dekatnya. Aku melantunkan shalawat yang sangat di sukainya. Kusentuh surainya agar dapat kumainkan.
"Kak, kalau Ana pergi selamanya apa kakak ikhlas?" Tanyanya yang membuat diriku membeku. Hanya saja pertanyaan itu terlalu dadakan. Aku baru saja mengetahui fakta bahwa Ana sudah memasuki stadium 2. Aku mengecek langsung tes kesehatannya ia sembunyikan dariku.
"Dek, jika kamu pergi di jemput malaikat kakak ikhlas. Kakak tidak akan bersedih melainkan kakak akan bahagia. Karena dengan bahagiaku kakak yakin engkaupun akan bahagia di sana."
"Terima kasih Kak," ucapnya.
Rasanya aku sudah cukup bahagia. Ana bangun dan memelukku, menyandarkan tubuhnya di dadaku. Mengecup tanganku. Entahlah apa yang membuatnya seperti ini. Aku yakin ... Ana sedih mengetahui kabar kesehatannya yang semakin drop.
Aku suaminya tak pernah ingin terlihat sedih di hadapannya. Rasanya hancur melihatnya harus terus bersusah payah terlihat tegar."Kak, apa aku bisa tertidur dengan bersandar seperti ini dengan kakak yang bershalawat? Tanyanya yang aku berikan anggukan. Rasanya sakit Na, saat melihatmu bersedih walaupun dirimu tak menangis.
"Kak, kakak sayang nggak sama Ana?" Ucapnya yang membuatku terpaku. Pertanyaan macam apa yang Ana barusan lontarkan itu membuatku terpukul.
"Adekku, Ana Maulida ... aku sayang padamu dan cinta padamu. Tapi aku sadar bahwa sayang dan cintaku tak bisa lebih besar dari cintaku tuk Tuhanku sayang," ucapku yang membuatnya menatapku dengan senyum.
"Terima kasih kak, Ana senang mendengar jawaban kakak,"
"Ada lagi yang membuatmu ingin bertanya?" Ucapku.
"Kak, ini seandainya ya, jika esok Ana telah tiada ... Ana harap kakak jangan menangis ya," ucapnya lagi.
"Iya sayang,"
Aku semakin mengeratkan pelukan ke dirinya. Aku sadar Ana merasa kasihan terhadap dirinya sendiri.
Mungkin sabarnya masih dalam doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Sang Wanita
SpiritualBismillah Assalamualaikum Salam mimpi dari wanita penuh perjuangan Sahabat jannah, kisah ini bercerita tentang mimpi sang wanita. Mimpi ini berawal dari bully teman-temannya yang suka akan sosok ketua kelasnya. Namun, ada gadis pendiam namun cerdas...