Bab 8 Tawa dan Senyuman

55 5 0
                                    

Happy reading😍😍😍

Setelah acara pernikahan yang dilangsungkan secara sederhana. Hanya pihak keluarga yang tahu. Kini Ana sudah kembali kuliah. Melanjutkan rutinitas sebagai mahasiswi. Berbeda dengan Alfin, ia hanya tinggal di rumah mertuanya. Ia juga tidak mau kemana-mana. Rasanya cukup Ana yang ia temui. Tidak untuk teman-temannya. Karena begitulah Alfin, dingin susah bergaul persis  dengan sifat  Ana. Sayangnya, Ana baik ke semua orang tapi Alfin hanya berlaku baik jika orang tersebut baik ke dirinya tanpa ada maksud lain.

Hari ini, ia akan membereskan segala pakaian dirinya dan Ana. Berhubung besok ia akan kembali ke Surabaya dengan membawa Ana. Di mana Ana ke kampus juga untuk mengurus surat pindahnya. Ia ingin ikut bersama suaminya. Menjalani hidup normal dengan semestinya. Tidak terbayang-bayang akan masa lalu.

Impian bersama. Itulah mimpi Alfin bersama Ana. Sosok wanita yang salah menurutnya. Datang memberi kehangatan kepadanya. Memberikan senyum termanis dalam kesepian.

Tepat pukul 12:00 Ana telah kembali dari kampus dan mengurus surat kepindahan dirinya. Ia lalu mencium punggung tangan Alfin yang sedang duduk di depan teras dengan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu, Ana masuk ke dalam rumah buat mengganti pakaiannya dan segera menyiapkan makanan.

Butuh waktu setengah jam buat berkutat di dapur. Setelah itu, Ana segera menyiapkan hidangan ke meja makan. Memanggil Alfin yang udah sejak pagi ia tinggal sendiri di rumah. Rasanya membuat Ana merasa bersalah, mengapa tidak? Ia tidak mengajak Alfin buat ke kampus saja.

Ana kemudian mengambil nasi lalu mengisi ke piring Alfin. Menambahkan lauk pauk yang sudah ia masak. Ini pertama kali Ana memasak buat orang lain. Tapi orang lain ini telah resmi menjadi suaminya. Pendamping hidupnya. Sampai akhir maut memisahkan mereka.

“Na, kamu mau aku suapin nggak?”

“Tidak usah Kak.”

“Kamu deket aku sini makan.”

“Ini udah dekat banget loh Kak.”

“Masa katanya dekat. Ini jauh tau Na.”

“Kalau jauh itu di dunia sama di surga Kak,” ujar Ana menutup mulutnya agar tawanya tidak menyinggung Alfin.

“Hehehe ... Na udah berani ketawain aku ya,” balas Alfin langsung menggelitik Ana. Ia sudah tidak peduli dengan makanan yang Ana hidangkan di depannya. Ia hanya ingin menggelitiki Ana yang sudah berani membuat lelucon untuk dirinya.

“Ka, udah ... ampun ... ampun ...,” balas Ana menahan tangan Alfin yang sudah memegang perutnya.

“Tidak ada ampun buat mulut yang asal jawab. Ini hukuman buat istri yang durhaka sama suami,” ujar Alfin sambil terus menggelitik Ana.

“Ampun Kak, aku tidak ulangin lagi deh,” ujar Ana sambil membentuk jarinya dengan v.

***

Malam ini mengalirkan angin yang menusuk tulang. Menegakkan kerinduan yang sangat lama. Mematikan bait-bait hati yang telah lama sirna. Menyatukan kisah-kisah lama yang terpendam.

Ana masuk ke dalam kamar, untuk menyiapkan keberankatannya ke Surabaya besok bersama Alfin. Ana membuka lemari, namun semua pakaiannya sudah tidak ada yang tergantung di dalam lemari.

“Kak, ayo masuk ke dalam kamar,” teriak Ana dari balik kamar.

“Iya, kamu kenapa teriak-teriak Na,” sambung Alfin yang berjalan menuju kamar mereka.

“Kak, baju aku hilang semua. Padahal tadi pagi masih ada dalam lemari. Kakak lihat tidak?”

“Kakak tidak lihat Na, mungkin kamu lupa simpan dimana.”

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang