Bab 25 Sabar

39 2 0
                                    

Selamat Membaca Mimpi Sang Wanita

Ada kalanya diam menanti dan berdoa adalah caraku menatapmu. Sakit yang kau rasa adalah sakit yang merasuki relung sukmaku. Bahkan raga ini tak tahan melihatmu sakit.

"Sayang, bangunlah. Apa kamu lupa akan mimpi kita. Kita akan membangun sekolah buat anak-anak kita kelak." Ujar Alfin yang telah mengabaikan dirinya sendiri. Wajah kusam berhari-hari menunggu Ana yang tak kunjung bangun setelah kejadian dia tidak sadarkan diri sesudah shalat berjamaah.

Alfin yang takut kehilangan Ana hanya bisa berdoa dan bersabar menunggu Ana sadar. Ia tidak bisa bercerita dengan ibu dan bapaknya atau dengan mertuanya. Alfin sendirian menanti Ana untuk membuka mata teduh itu. Alfin yang terus memperhatikan istrinya dipasangkan alat bantu pernapasan untuk menghirup oksigen saja terus meratapi diri. Bahkan tak sadar ia terus menangis melihat seorang wanita yang pernah menjadi teman duduknya semasa sekolah sudah menderita dan sekarang telah menjadi sahabat dunia akhiratnya harus merasakan sakit kembali. "Apa Allah sangat sayang dengan dirimu?" Gumam Alfin ditengah ia menggenggam tangan imut itu. Hatinya bahkan sudah sesak memandang wajah yang selama ini menghiasi mimpinya. Mimpi ia bangun bersama. Menanti buah hati yang ia impikan bersama istrinya.

Detik demi detik berganti. Menit demi menit kian berubah. Selang beberapa bulan kemudia tak ada tanda-tanda Ana akan terbangun dari tidur panjangnya. Alfin yang melihat itu semakin prustasi. Namun, ia selalu ingat akan kata-kata istrinya agar selalu bersabar di setiap cobaan yang melanda. Itulah dorongan yang selalu ia ingat dalam hatinya. Istrinya bagai penopang saat Alfin di masa sulit.

***

Pagi adalah waktu yang sangat di sukai oleh Ana. Ia akan mengerjakan shalat dhuha di kala fajar telah menyingsing. Semua kenangan bersama istrinya seakan berputar seperti bintang di memori Alfin. Tak ada yang dilewatkan Alfin di kala pagi. Ia masih setia mengerjakan apa yang Ana kerjakan semasa ia tidak terbaring lemah. Alfin yang telah mengetahui penyakit Ana merasa hancur. "Mengapa wanitanya terus ditimpa coboaan oleh Allah. Segitu sayangnya Allah kepada wanitanya?" Alfin bermonolog sendiri seakan ia rela memindahkan sakit Ana ke dalam dirinya.

"Ya Rabb, hamba tau hamba hanya insan yang belumuran dosa. Tak pantas aku meminta banyak hidayahmu ya Rabb. Ya Allah, hamba hanya meminta kesembuhan untuk istriku. Jika bisa, biarkan hamba saja yang menerima sakit itu. Hamba tau, hamba hanya pendosa ya Rabb"
Pinta Alfin dalam akhir doanya. Ia bahkan menangis sesunggukan saat melihat istrinya terbaring berbulan-bulan tanpa tahu kapan dia akan sadar.

Tak lama berselang, tiba-tiba Alfin melihat mukjizat. Jemari Ana bergerak lalu Alfin sujud syukur dan berlari memanggil dokter. Dokter pun memeriksa Ana dan mengatakan Ana telah melewati masa komanya. Setalah dokter memberitakan itu dan meninggalkan Alfin sendiri bersama Ana, Alfin mencium pucuk kepala Ana. Merapalkan doa untuk istrinya. Ia bahkan tak akan pernah bosan melakukan tilawah di dekat Ana. Bershalawat agar Allah mendengar doanya untuk Ana.

Setelah seminggu Ana dikatakan telah melewati masa komanya Alfin sudah merasa legah. Pasalnya Ana sudah membuka matanya. Kini Ana menyandarkan dirinya di sandaran ranjang dengan menatap suaminya yang agak kurusan. Alfin dengan telaten menyuapi Ana bubur agar Ana segera kembali ke apartemen mereka. Ana yang melihat suaminya juga merasa bersalah. Bahkan air mata bening itu berjatuhan saat ia memegang tangan Alfin. Menciumnya sebagai tanda terima kasihnya atas kasih sayangnya. Hati Ana bahkan teriris ribuan silet menatap suaminya.

"Sayang, jangan menangis. Aku tidak ikhlas melihat air mata itu jatuh kembali".
Ana mengangguk lalu memeluk Alfin dengan erat. Ia bahkan menangis bahagia telah menjadi istri Alfin. Alfin yang menjadi obat untuk dirinya. Kakak yang setia dalam suka maupun duka. Mungkin cinta yang telah membawanya berani memeluk suaminya begitu erat. Menyalurkan rindu di alam mimpi selama berbulan-bulan.

"Kak, apa Ana akan bertahan hidup lebih lama lagi?"
"Insya Allah, sayang".
"Kak, terima kasih banyak. Sudah bersedia merawat Ana dan menyayangi Ana selama ini. Maaf, Ana belum mampu menjadi istri yang berbakti buat kakak".

Isakan itu lolos begitu saja. Membuat hati Alfin kembali sakit. Mengapa Ana harus berkata demikian. Padahal dirinya lebih menyayangi Ana. Jikalaupun bisa, ia rela menjadi pengganti Ana dalam sakitnya.

****
Adakah sosok cinta seperti Alfin?
Kalau ada koment ya heheh😄😄😄

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang