Kutatap mata teduh itu yang sudah menemaniku sejauh ini. Mengajariku cara paling ikhlas menerima sebuah takdir dari Allah. Ya, kami baru saja shalat shubuh berjamaah. Dan Ana meminta tuk tidur setelah kami shalat. Aku tak pernah bertanya mengapa ia meminta tidur dan memelukku sangat erat dan meminta maaf. Dan aku hanya membaringkan ia di pahaku. Kulantunkan shalawat favoritnya tepat di telinganya.
Kugenggam jemarinya membawanya di dadaku agar ia bisa mendengar detak jantungku yang selamanya tak akan pernah berubah. Hatiku dan ragaku sudah ia penuhi dengan iman dan kesederhanaan dirinya.
Kutepuk pipinya agar ia terbangun, kubisikkan kata-kata paling manis di telinganya agar ia membuka mata. Namun, semua nihil. Usahaku sia-sia dalam membangunkan Ana.
"Dek, bangun ...," suaraku bergetar membangunkannya hingga mengguncang tubuhnya. Kuulangi terus menyebutkan namanya agar ia membuka matanya. Namun, usahaku kembali sia-sia.
Aku panik melihatnya tak ada respon dari usahaku. Kubawa Ana secepatnya di rumah sakit. Yang aku ingat selama dirinya berada disisiku aku harus ikhlas mengenai kepergiannya. Mungkin itulah faktanya bahwa ia akan benar-benar pergi selamanya. Kutelpon ayah mertuaku dan ibu Ana di Indonesia. Mengabarinya bahwa Ana butuh dukungan doa dari keluarga terdekatnya. Aku sebagai suami hanya mendoakan yang terbaik. Aku meminta kepada dokter agar mengoperasi Ana saja.
Lima jam sudah terlewati, lalu dokter keluar dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Dokter pria itu memelukku dengan berkata ... bahwa aku harus menerima takdir ini. Allah telah mengambil apa yang sudah ditakdirkan. Aku tiba-tiba saja ambruk seketika kata-kata dokter itu berhenti.
Aku masuk tuk melihat terakhir kalinya mata teduh itu. Menatapnya dengan senyuman walau aku yakin senyum yang aku berikan tuk dirinya adalah senyum terpaksa. "Kak, saat aku benar-benar pergi, aku harap kakak tersenyum melihatku," pintanya sebelum ia sudah benar-benar meninggalkan aku dengan segala kenangan kami.
Seusai pemakaman Ana, aku kembali ke apartemen kami. Aku benar-benar akan menetap di Jepang. Biarlah negara ini menjadi saksi perjuangan cinta kami.
***
Satu tahun setelah kepergian Ana, semua telah berubah. Aku tak lagi bekerja di perusahaan Ayah. Dini juga tak lagi bersamaku. Dini pergi meninggalkan aku sendiri setelah ia puas melihat kematian Ana. Saat itu aku benar-benar marah mendengar apa yang ia katakan. Dini menikah dengan seorang pria yang aku bisa tebak adalah ayah dari bayi yang ia kandung.
Aku mengajar sebagai dosen di universitas saat aku kuliah S2. Aku juga mengembangkan sekolah yang Ana bangun di Jepang. Sesuai mimpinya. Aku melanjutkan mimpi itu sebagai ikrar cintaku padanya. Tak pernah terlintas aku mencari penggantinya. Rezky yang pernah menyukai Ana saja menyarankan aku agar membuka hati kembali. Tapi, faktanya seluruh hatiku telah terpaut atas nama Ana Maulida.
***
Hari-hariku kuhabiskan sepulang mengajar dengan duduk di taman. Ya, taman yang pernah Ana kunjungi selama ia masih hidup. Kulihat anak-anak yang berlarian dan sekelebat ingatan terus berputar saat Ana masih hidup. Wajahnya yang teduh dan senyumnya yang manis tak pernah aku lupakan walaupun sedetik. Tentang kematiannya masih terasa janggal dalam alam pikirku. Aku masih merasa sosoknya belum-belum benar pergi meninggalkan bumi yang masih biru ini. Aku masih yakin ia masih hidup.
Aku telah pulang dari taman. Aku singgah di mesjid yang dekat dengan apartemen. Hatiku terpanggil mendengar kalam Allah yang dilantunkan – yang aku yakini seorang akhwat sedang mengaji. Suaranya sangat mirip dengan almarhumah Ana.
Langkahan kaki ini menuju sap yang paling depan agar aku dapat melihat siapa yang melantunkan kalam Allah. Hatiku terpanggil tuk mendekat agar mengetahui siapakah gerangan membaca kalam Ilahi itu.
Aku menghela napas, "Benar-benar kuasa Allah, sosok yang benar-benar aku rindukan memiliki kembaran yang tak pernah terlintas dalam benakku."
"Astaghfirullah, kurapalkan berulang kali, karena aku telah memandang lebih wajah rupawan yang bukan mahromku. Tapi, wajahnya sangat mirip dengan Ana, cuman dari nada suaranya ada yang berbeda. Ia menggunakan bahasa inggris saat berkomunikasi. Yang aku tahu Ana tak sepasih itu dalam bahasa Inggris. Setelah itu aku pergi meninggalkan wanita yang membuat kerinduanku semakin kuat dengan Ana.
Malam telah menyambut dengan segala keindahan yang Allah berikan di negara ini. Teknologi yang sangat canggih membuat negara ini berbeda dengan negara lain. Malam ini aku akan bertemu dengan dosen yang akan mengajar di kampus. Dari infonya ia adalah lulusan terbaik di Amerika. Namanya Nur Indah. Sosoknya dan perangainya yang aku belum ketahui mengundang rasa penasaranku. Aku tidak tahu mengapa diriku sangat menantikan pertemuan malam ini.
"Assalamualaikum," ucapnya dengan terbata yang aku tahu dari gestur senyumnya yang malu-malu menatapku.
"Waalaikum salam," ucapku dengan datar.
Hatiku bergemuruh hebat saat tarikan senyumnya mengingatkanku dengan Ana.
"Pak Alfin, anda baik-baik saja," ucapnya melambaikan tangan di depan wajahku.
Aku mendengar suaranya yang bahkan mampu menghipnotisku. Aku tahu, ada yang salah dengan diriku. Tapi, aku munafik menampik rindu ini tertuju ke Ana.
"Iya, Ibu Indah. Saya baik-baik saja," ucapku sedatar mungkin sambil mengalihkan pandangan wajahku.
Aku masih berusaha menenangkan diri ini. Kutatap matanya yang sangat mirip dengan Ana. Hanya saja, namanya yang berbeda. Dan aku lihat ia lebih memanjangkan jilbabnya dibanding Ana. Ya, Ana hanya memakai jilbab sepanjang pinggang saja. Tapi, itu tak menurunkan kadar cintaku padanya.
"Pak, mau pesan dulu apa langsung diskusi mengenai penelitian yang akan menjadi proyek besar di kampus?" tanyanya dengan serius.
"Sebaiknya kita makan dulu. Maaf saya belum sempat makan dari tadi siang." Ucapku tanpa menatap matanya.
Kurapalkan kembali dzikir demi dzikir agar jiwaku berdamai mengenai diri Ana. aku meyakinkan diri bahwa Ana sudah bahagia di surga Allah.
Sesudah makan aku mulai berbicara serius dengannya. Aku harus profesional agar dirinya tak merasakan perubahan dalam diriku. Hingga malam semakin larut, aku semakin mengenal sosoknya. Ternyata ia baru lulus dari S2. "Masya Allah" gumamku sambil menatap matanya yang membuatku semakin terosot dalam mengingat diri Ana.
***
Aku sadar, bahwa tidak akan nyata diri Ana dalam diri Indah. Semua hanya mimpiku saja bahwa Indah benar-benar Ana. pertemuan kami di restoran menyadarkan diriku bahwa Indah adalah Indah, dan Ana adalah Ana. aku kaget bahwa Indah telah memiliki seseorang yang kuyakini adalah suaminya.
Mimpi ini benar-benar nyata dan menyakitkan. Aku harus menerima dengan sabar bahwa Ana telah meninggalkan aku selamanya dengan sejuta mimpinya. Mimpi sang wanitaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Sang Wanita
SpiritualBismillah Assalamualaikum Salam mimpi dari wanita penuh perjuangan Sahabat jannah, kisah ini bercerita tentang mimpi sang wanita. Mimpi ini berawal dari bully teman-temannya yang suka akan sosok ketua kelasnya. Namun, ada gadis pendiam namun cerdas...