Bab 10 Kembali ke Kampus Baru

63 6 0
                                    


Setelah shalat subuh, Ana sudah berkutik di dapur rumah Alfin. Ana mau menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, semua niat baiknya tidak berjalan dengan baik. Bayangakan saja, rumah sebesar ini, di dalam kulkasnya tidak tersedia apa-apa. Bagaimana bisa ia mau memasak untuk Alfin yang sangat suka masakannya.

Dengan segala ide yang ada dalam otaknya, Ana yang melihat tumpukan roti segera mengambilnya dalam lemari. Ia akan membuat roti bakar. “Pasti Alfin akan suka dengan roti buatannya,” guman Ana yang sedang mengolesi lapisan rotinya dengan selai durian. Ia hanya ingat, bahwa Alfin sangat suka dengan selai durian.

Setelah lima belas menit bergelut di dapur yang sebesar kamar Ana, ia segera menghidangkannya di meja makan, kemudian dirinya menuju ke kamar untuk membangunkan Alfin yang masih tidur. Tadi sehabis shalat shubuh berjamah dengan Alfin, Alfin kembali tidur. Rasa ngantuk yang menyerang tiba-tiba membuatnya tertidur hanya lima belas menit saja. Bagaimana tidak, tadi malam Alfin begadang buat mengerjakan tugas dari dosen di kampusnya. Ia hanya tidur sekitar satu jam saja. Padahal Ana sudah membantu juga dalam mengerjakan tugas  Alfin.

“Kak, ayo bangun! Aku sudah buatkan sarapan pagi ini.”

“Hmm ... iya Sayang,” ucap Alfin berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangun.

“Kalau Kakak tidak bisa bangun ... baring saja. Biar nanti Ana bawa sarapannya di kamar ini,” balas Ana yang sudah pergi meninggalkan Alfin yang sandar di tepi ranjang.

Tidak lama Ana sudah kembali dari dapur membawa sepiring roti dengan susu coklat kesukaan Alfin. Ana tahu bahwa Alfin suka makan roti bakar dan susu coklat karena semasa sekolah ia sangat suka membeli itu di kantin.

“Ini Kak, ayo makan.”

Ana yang hanya melihat Alfin makan membuat dirinya merasa senang.

“Kok tidak makan An, ini ayo makan,” Alfin langsung menyuapkan roti bakar tersebut di mulut Ana.

Ana yang disuapi hanya mengunyah makanannya dengan lambat. Ia sudah merah merona hanya disuapi dengan Alfin.

“Kalau makan itu ... jangan belepotan ya An, untung cuma aku yang lihat. Kalau tidak, bisa-bisa laki-laki lain membersihkan bibir mungilmu itu. Aku tidak ikhlas jika melihat bibir itu tersentuh oleh tangan laki-laki lain,” ujar Alfin panjang lebar dengan membersihkan sisa sarapan yang ada di mulut Ana dengan jari-jarinya.

Setelah makan mereka berdua bersiap-siap dengan mandi.
“An, aku mau mandi dulu, mau bareng tidak, biar cepat mandinya,” Alfin manggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Dirinya juga bingun bisa mengajak Ana mandi bersama. Sedangkan yang diajak hanya diam membisu di depan kamar mandi.

“Tidak usah, Kak. Aku bisa mandi di kamar mandi sebelah. Bisa hemat waktu juga tanpa mandi bersama Kakak.”

Alfin yang mendengar penuturan dari Ana hanya senyum kecut saja. “Gagal deh, berduaan di kamar mandi,” guman Alfin.

Setelah mandi, mereka berdua sudah siap untuk berangkat ke kampus mereka. Kampus yang sudah menjadi cerita yang hanya golongan elit saja yang mampu menempuh pendidikan di sana, pasalnya biaya per semester saja sudah bisa dijadikan biaya modal nikah.

Alfin dan Ana mereka menggunakan motor untuk pertama kalinya berangkat ke kampus. Waktu masih menunjukkan pukul 06:00, tapi Alfin dan Ana sudah berangkat ke kampus. Jalanan saja masih sepi. Hanya beberapa kendaraan yang membelah jalanan. Udaranya juga masih sejuk, belum terkontaminasi dengan asap kendaraan.

Ana yang nyaman diboncengan Alfin hanya melihat suasana kota Surabaya dengan tatapan Subhanallah. Betapa kagumnya ia dengan suasana kota ini. Dengan segala apa yang diciptakan Allah dimuka bumi ini. Menguatkan bangunan-bangunan pencakar langit yang kokoh tegak berdiri satu sama lain tanpa ada cela. Bagaimana Allah memberikan kekuasaan atas kehendak manusia untuk membangun semua bangunan itu ... itulah Kuasa-Nya. Kita sebagai makhluk-Nya hanya bisa terus bersyukur atas karunia yang telah dititipkan ke kita. Karena semua titipan ini akan dicabut oleh Sang Kuasa jika waktunya telah ditentukan.
Sementara Alfin yang melihat raut muka Ana dibalik kaca spion motornya hanya tersenyum. Ia menatap tatapan mata yang teduh  itu. Alfin meyakinkan dirinya untuk mencintai Ana sampai akhir. Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlak yang mulia akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang dimakan zaman, apalagi waktu. Ia tak akan luntur hanya terkena sinar matahari yang membara, namun akan tetap hangat selama lamanya. Cinta yang ia bangun tak akan luntur karena hujan yang mengguyur, dan tak akan putus jika malaikat maut telah menjemput diantara keduanya.

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang