Bab 23 Haru Bahagia

39 4 0
                                    

Gelisah saat kau hanya mampu melihat senyum itu meredup tuk sementara. Menantikan bahagia pada tempat yang tepat.
-Salfiana-

Sudah dua hari Ana demam didampingi dengan Alfin. Alfin yang melihat istrinya tak kuasa melihat kondisi orang yang selalu menjadi pelabuhan terakhirnya harus terkapar lemah di kamar apartemen yang dihuninya. Ana menjadi keras kepala saat sedang sakit yang melanda. Bukan dia menjadi lemah atau cengeng, hanya saja ia susah menelam obat. Rasanya ia rela disuntik dibanding meminum obat. Alfin tahu kelemahan Ana jika dihadapakan dengan obat.

"Dek, aku masakin kamu bubur ya," Pinta Alfin.

"Asal tidak membuat kakak capek," Lirih Ana.

"Sayang, kamu sedang sakit begini, kok kamu bilang aku capek. Aku senang kalau kamu cepat sembuh biar aku bisa ajak kamu jalan-jalan sayang." Ungkap Alfin menggemgam tangan mungil Ana.

Setelah itu Alfin berlalu meninggalkan Ana dengan mengecup kening Ana yang hangat. Alfin lalu berkutak di dapur yang berukuran sempit itu. Ia sudah membuat bubur spesial ala chef Alfin. "Semoga Ana suka hasil masakan aku," Ungkap Alfin sambil membawa bubur buatannya ke kamar mereka.

"Sayang ayo duduk dulu, aku suapin kamu bubur biar kamu cepat sembuh."

"Rasanya kok enak sih, masaknya gimana?" Tanya Ana menatap pekat wajah Alfin.

"Aku masaknya pakai kasih sayang, makanya enak dimulut kamu, hehehe." Canda Alfin membuat lengkungan senyum menghiasi wajah Ana walaupun dalam keadaan pucat.

Setelah buburnya tandas, Ana meminum obatnya dengan sedikit paksaan dari Alfin. Walaupun obatnya harus digerus dulu.
Tak berselang lama, Ana tertidur karena pengaruh obat.

Alfin memandangi wajah Ana yang damai. Mengelus rambut yang semakin panjang. Hitam pekat serta lurus adalah favorit Alfin saat ia mengelus rambut Ana. Alis yang tebal bak ulat bulu. Namun, ia juga mulai memejamkan matanya saat ia tidur di samping Ana dengan memeluknya.

***
Ana terbangun dari tidurnya saat ia merasa ada tangan yang memeluknya dari belakang sangat erat. Dan tanpa sadar ia menyentuh pipi Alfin yang damai dalam tidurnya. "Ya Rabb, sungguh karunia-Mu memberikan hamba suami seperti Alfin. Walaupun Ana bukan yang terbaik untuknya. Izinkanlah aku bersamanya lebih lama. Aku tahu umurku tidak akan lama lagi. Tapi, izinkan aku menghabiskan sisa hidupku dengan melihatnya tersenyum." Lirih Ana yang hanya di dengar oleh dirinya, dan tiba-tiba cairan bening menetes di pipinya.

Kemudian Alfin tersadar saat ia merasa ada yang menyentuh pipinya. Ia kemudian tersentak kaget saat wajah Ana memerah dengan tangisan yang ia tak tahu apa penyebabnya.

"Sayang, kenapa menangis?"

"Oh, tidak apa-apa kak," Lirih Ana.

Alfin yang mendengar penuturan Ana merasa tersakiti. Pasalnya ia yakin ada yang Ana sembunyikan dari dirinya.

***
Matahari telah bersinar kembali. Menyambut dua anak adam yang saling menyayangi, mengasihi dan mencintai di jalan yang Allah ridhai. Setelah lima hari lamanya Ana yang terbaring sakit kini sudah sembuh. Walau faktanya Ana memang mengidap penyakit yang baru ia ketahui setelah kuliah di luar negeri. Ia menutupi penyakitnya dari Alfin karena ia tidak ingin membuat Alfin sedih.

Senyum terus tertarik dari wajah Ana. Tak ada yang mampu membuat Alfin menolak senyum itu. Baginya senyum Ana adalah obat mujarab bagi hidupnya. Ia akan lemah saat senyum itu pudar dalam menghias hidupnya. Bagaikan anak yang dirundung duka Ana mampu memberikan semangat dalam hidup Alfin jika Alfin merasakan derita nestapa dalam hidupnya.

"Sayang, kalau kita pulang ke Surabaya mau nggak?" Tanya Alfin.

"Kalau Kakak mau pulang, insya Allah ikut heheh," Ucap Ana.

"Betulan nih An," Balas Alfin.

"Iya sayangku," Jawab Ana dengan kekehan kecil sambil menutup matanya.

Saat Ana membuat candaan ia akan tersipu malu menatap Alfin. Bukan karena takut sama Alfin. Tapi, wajahnya akan bersemu merah.

Berjalan di taman adalah favorit Ana saat masih sendiri di Inggris. Tapi bahagia semakin bertamba saat Alfin berada di sisinya. Berjalan mengitari taman melihat burung merpati terbang adalah kesukaan Ana. Lalu melihat bunga mekar di taman adalah salah satu cara dan hobi bagi Ana jika ia sedang penat akan tugas kuliahnya. Semua kini menjadi indah saat suami yang ia rindukan sudah ada di dekatnya. Berbeda dengan bulan-bulan yang lalu ia hanya bisa ke taman sendiri dan melihat anak-anak sibuk bermain sendiri.

Tiba-tiba Alfin mengajak Ana duduk di salah satu bangku taman.
"Sayang, kalau kamu hamil mau punya anak berapa?"

"Hmm, terserah Allah Kak," Jawab Ana.

"Kok gitu sih sayang, aku maunya satu aja," Balas Alfin.

"Aku maunya banyak kak, biar nanti kalau aku tiada ada yang jagain kakak, ada yang gantiin aku buat sayang sama kakak." Lirih Ana sambil menahan suaranya agar tidak terdengar sedih di depan Alfin.

"Hush, jangan bilang begitu. Aku maunya satu saja. Aku tidak mau melihat kamu tersiksa walaupun kamu perjuangin anak kita kelak. Jadi, jangan ngomong begitu. Aku belum siap ditinggal sama kamu An. Apa salah aku berharap sama Allah agar kamu selalu di sisiku?

"Kak, maafkan aku jika aku terkesan lupa akan kuasa Allah. Aku sayang sama kakak. Insya Allah aku akan berusaha di sisi kakak sampai maut menjemputku kelak."

Ana berusaha tegar dihadapan Alfin. Ia tidak mau melihat suaminya sedih karena tahu akan penyakitnya.

"Ayo kita jalan lagi sayang," Alfin menggandeng tangan Ana dengan erat seolah tak rela melepasnya.

Wanita yang ia melihat keduanya seolah terpana melihat ketampanan Alfin. Tak ada yang mampu menolak pesonanya. Wajahnya yang putih bersih semakin bersinar. Ana yang melihat wanita lain menatap suaminya dengan nafsu membalas erat genggaman tangan Alfin.

-bersambung-

Ayo yang mau baca terus jangan lupa votenya😄😉
Penulis aslinya lagi kendala waktu soalnya jadi agak lama up heheh😃

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang