Bab 7 Perjalanan Dua Mata

59 7 1
                                    

Sepulang dari danau, Alfin dan Ana kembali ke rumah. Mereka kembali dalam keadaan basah kuyup. Hujan yang lebat membuat keduanya harus terkena hujan yang deras dengan petir yang membuat orang sangat ketakutan. Namun, di sisi lain, Ana sangat menyukai hujan, berbeda dengan Alfin yang sangat ketakutan saat petir sudah menyambar. Hanya rapalan zikir yang terus mengalir dari mulutnya dan tak henti-hentinya mengucap kalam Allah.

Saat kita takut, kita hanya perlu mengingat Allah, sehingga dengan sendirinya ketakutan kita akan sirna.

“Kak Alfin, sini Ana pasangin jaket, biar nggak kedinginan. Nanti masuk angin, bisa-bisa Kakak sakit.” Ujar Ana memasangkang jaket ke tubuh Alfin.

Tiba-tiba saja Alfin memeluk Ana yang juga dalam keadaan basah kuyup. Betapa senangnya Alfin, saat Ana juga terbasah akibat hujan, tetapi ia malah memberikan jaket ke dirinya. Ya Allah, betapa beruntungnya diriku saat Ana begitu tulus memberikan jaket ini ke aku. Walaupun aku tahu, ia juga pasti kedinginan. Saat ini cara yang paling adil bagi aku dan Ana hanya saling memeluk. Memberikan kehangatan di tubuh masing-masing.

Aku teringat semasa sekolah, di mana Ana pernah  menggigil hingga suhu tubuhnya sangat panas. Bagaimana bisa tidak menggigil, ia meminjamkan jaketnya saat hujan ke teman sekelas, padahal waktu itu ... hujan lebat juga membuat orang harus memakai jaket. Di saat itulah rasa sayangku semakin dalam ke dirinya. Ia benar-benar rela berkorban buat orang lain, menyampingkan dirinya untuk membantu seseorang. Kalau aku jadi Ana, pasti aku yang akan memakai jaket itu. Tidak bakal meminjamkan jekat untuk orang lain. Aku kan juga sangat butuh di saat genting. Tapi itu dulu, saat aku belum paham arti pengorbanan. Namun, sekarang aku sudah mulai paham arti pengorbanan lewat dirinya. Dirinya yang sederhana, begitu polos, namun aku sedih ... mengingat luka yang ada dalam dirinya masih tersimpan begitu rapat dalam hidupnya.

“Kak, jangan meluk aku di sini juga, diliatin tuh sama yang lain. Malu banget ini rasanya,” ujar Ana yang masih menenggelamkan kepalanya di dada bidang Alfin.

“Tidak apa-apa Ana, kan kita udah sah. Biarin deh kalau orang mau berkata apa. Toh aku juga suami kamu.” Balas Alfin yang masih memeluk Ana.

“Kak, nanti kakak tambah basah loh, aku tidak mau lihat kakak sakit. Bair aku saja yang sakit.”

“InsyaAllah kakak tidak bakal sakit loh.”

“Kakak kok bilang begitu, emang kakak Tuhan?”

“Na, semua perkataan yang kamu bilang tadi mengandung doa. Jadi, kamu jangan doakan kakak sakit ya.”

Setelah Alfin membalas semua perkataan Ana. Ana merenungi kata-katanya sendiri. Ia baru ingat setiap perkatan adalah doa. Bodohnya ia mendoakan suaminya sendiri buat sakit. Astagfirullah ... Astagfirullah ... Astagfirullah ....

***

Malam ini udara semakin dingin. Tepat pukul 21:00 malam, Ana dan Alfin baru tiba di rumah. Seharian ini, mereka berdua hanya menunggu redahnya hujan. Namun, karena berada dalam dekapan satu sama lain, mereka semakin bisa mengutarakan isi hatinya. Tak ada lagi kebohongan yang Ana sembunyikan. Namun, Alfin belum bisa puas menerima kenyataan bahwa Ana masih memendam luka-luka yang ia rasakan dalam hidupnya.

“Kak, aku buatkan teh hangat buat kakak.” Ana memberikan ke Kak Alfin yang duduk menatap langit lewat jendela kecil Ana.

“Sini deh Na, aku mau lihatkan kamu sesuatu.”

“Apa ya Kak,” balas Ana dengan meletakkan cangkir teh yang ia buat di dekat meja yang ada di dekat ranjang.

“Menurut kamu, apa aku sama dengan bintang?” tanya Alfin.

“Hmm ... menurut aku ya Kak, Kakak sama dengan bintang. Karena bintang itu kecil, namun mampu memberikan kenyamanan bagi orang lain, saat orang lain menatap langit dikala malam. Sama dengan Kakak, kakak yang awalnya kecil di hati aku, namun telah membesar dan memberikan rasa nyaman yang besar bagi aku.”

“Hmmm ... begitu ya.”

“Maaf ya Na, aku sama bintang sangat beda. Ini menurut aku ya, “Aku punya cahaya sendiri, sedangkan bintang punya cahaya dengan cara mereka.” Ujar Alfin, kemudian langsung memeluk Ana.

“Aku memberikan semua cahaya dalam hati ini untukmu, insya Allah hanya untukmu. Namun, bintang akan berhenti memberi sinar dalam hidupmu. Dan itu hanya berlangsung jika malam datang sayang,” Ujar Alfin.

Ana hanya terdiam mendengar penuturan dari suaminya. Rasanya ia hanya bisa mendengarkan segala perkataan suaminya. Bagaiamana tidak, Alfin yang ada di depannya sangat pintar merangkai kata yang mampu membuat Ana merasa ingin terbang. Alfin yang dulu sangat dingin, entah kapan itu berubah. Mengubah sosoknya yang ia idamkan semasa sekolah.

Ketika aku berubah, hanya untukmu
Bukan untuk seseorang, melainkan untuk Sang Kuasa dan dirimu

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang