Bab 5 Pertemuan Dua Mata

116 7 1
                                    

Hari ini seolah dunia Ana akan segera berubah. Bukan lagi seorang wanita biasa yang mampu meluangkan waktunya untuk segala kegiatannya di kampus. Bahkan untuk sekedar menyalurkan hobinya dalam dunia sastra tak akan lagi sama.

Ana tidak tahu, pemuda dari mana yang mampu datang ke rumahnya. Menggetarkan gerbong hatinya yang telah terkunci hanya untuk Alfin. Menjadi pemilik sah dalam jiwanya. Walaupun hanya ia yang tahu isi hatinya. Namun, baginya sekarang harus ia kubur dalam-dalam rasa cinta yang pernah hadir dalam hidupnya. Bukan untuk dirinya, namun untuk pemuda yang akan menjadi suaminya kelak.

Hari ini, Ana akan ke kampus seperti hari-hari sebelumnya. Ia tidak mau memikirkan nasibnya yang akan berubah menjadi istri dari seseorang. Bukan dari Alfin. Pemuda yang mampu memberikan rasa nyaman dalam hidupnya. Seseorang yang masih memegang tahta dalam hatinya.

Hari-hari yang terjadi seolah menjadi saksi betapa dirinya semakin rapuh. Membayangkan wajah Alfin yang sedang melihatnya bersanding dengan pria lain, membuatnya merasa kecewa. Tak menepati janji kepada Alfin. Tapi, rasa ini juga bukan salah dirinya sepenuhnya. Toh dalam surat yang dikirimkan Alfin kepadanya bahwa jika ada seseorang pria lain selain dirinya, ia harus menerima pinangan pria tersebut.

“Bismillah ...”

Kata-kata Ana yang menyemangati dirinya sendiri. Menahan rindu yang harus ia pendam sendiri. Seolah mimpi-mimpi yang ia rencanakan harus kandas dalam takdir. Ya, manusia hanya bisa berencana, namun Allah yang bisa membauat skenario terbaik dalam kehidupan.

Ya, tak seharusnya Ana berharap lebih. Seolah hanya Alfin yang Allah siapkan sebagai jodoh dalam hidupnya. Bukan menolak takdir, tapi dalam hidupnya hanya Alfin yang berani mengatakan segala isi hatinya dengan surat.

Tepat pada pukul 13:00 rumah Ana sudah kedatangan tamu. Mobil yang terparkir di halaman depan rumah Ana cuma satu. Menandakan ada tamu yang ada dalam rumah.

“Siapa ya, yang bertamu siang-siang gini?” batin Ana

Ana masuk dalam rumah. Menemukan sepasang suami istri, yang jika dilihat dari raut mukanya, menandakan adalah orang tua dari pemuda yang pernah diceritakan ibunya kepadanya.

Ana langsung memberi salam kepada kedua orang tua itu. Karena menurut Ana memuliakan tamu akan bernilai pahala disisi-Nya. Tak butuh waktu lama Ana mengamati dengan seksama. Namun, Ana merasa nihil tak menemukan sosok pemuda yang datang melamar dirinya.

Kemudian Ana hanya masuk ke kamarnya. Meninggalkan kedua orang tua pemuda itu bersama ibu bapaknya di ruang tamu. Tak butuh waktu lama Ana sudah mengganti bajunya. Dia memakai gamis berwarna merah maron senada dengan jilbab yang ia gunakan. Sehingga mampu menambah aura kecantikan yang keluar dalam dirinya. Namun Ana bukan sosok yang suka berdandang. Wajahnya saja tak pernah ia poles dengan bedak. Jadi, wajar saja mukanya menjadi sawo matang. Tapi Ana bersyukur karena masih diberikan kesempatan dari Allah untuk menjaga nikmat-Nya. Dari pada harus mengeluarkan biaya buat kecantikan, Ana hanya menyimpan sisa uangnya untuk keperluan pendidikannya kelak.

Ana hanya merasa sekarang ia harus menahan gejolak dalam hatinya. Deg ... deg ... deg ..., itulah yang ia rasakan sekarang. Dan tiba-tiba datang seorang pemuda yang memberi salam masuk ke rumah. Dan betapa terkejutnya Ana melihat siapa yang datang. Dan mulutnya sekarang hanya mengangah saja, ia bungkan menjadi seribu bahasa. Betapa malunya ia.

“Assalamualaikum ... Na”

“Waalaikum salam,” jawab Ana

Dalam pikiran Ana kok bisa ya, apa ini mimpi dari doa-doanya. Ia dipertemukan kembali dengan sosok Alfin. Pemuda yang ia harapkan menjadi imam dalam hidupnya. Dan kembali dipersatukan dalam ikatan halal. Ya itulah alam pikiran Ana yang sedang entah kemana berjalan-jalan. Dan inilah takdir, ketika kita mendekat kepada Sang Pencipta untuk meminta, maka Allah akan memberi kita dengan sebuah jawaban yang mampu merubah kita dengan sekejap.

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang