Bab 30 Bahagia

25 2 0
                                    

Kebersamaan akan terasa damai dan menyentuh kebahagiaan saat engkau mampu bersamanya. Mengalirkan kebahagiaan pada dirinya. Membuatnya tersenyum hingga hilang nestapa dalam hidupnya. Mengubur sedalam-dalamnya lara dalam jiwanya. Menjadi penopang tuk raganya. Hingga senyum mampu menjadi terbit. Saat matahari sudah naik ke perapaduan. Menjemput kekasih dalam ikatan sakral.
By: Salfiana Ilyas

Pagi telah menyambut ketenangan. Bersamanya aku menemukan kebahagiaan. Menemukannya adalah doaku. Memeluknya adalah obatku ketika gundah gulana.
Parasnya masih menjadi candu dalam kerinduan.

"Dek, bangun yuk, kita jalan-jalan di sekitar sini," ujar Alfin membelai wajah Ana.

Pipi itu bersemu merah. Menandakan Ana masih malu-malu. Padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan lama.

"Kak, jangan pegang-pegang pagi-pagi don," ujar Ana sambil menutup wajahnya.

"Ya Allah say, dipegang aja sudah tersipu gitu apalagi kakakmu melakukan ibadah terindah bersama dirimu, mungkin sudah klepek-klepek kamu  sama kakak, hehehe," tawa Alfin mendekap Ana dalam pelukan.

Mereka berdua kemudian bangun dan bergegas untuk jalan-jalan karena Ana sudah agak baikan dari kemarin.

Di taman yang mereka jalani hanya ada anak-anak yang bermain bersama kedua orang tuanya. Sekilas senyum terbit dari wajah Ana. Alfin yang melihat itu juga bahagia. Seakan melupakan urusannya yang belum kelar dengan Dini. Si rusuh perebut kebahagiaan dirinya bersama Ana.

"Dek, yuk kita main kejar kejaran sama anak-anak di sini, mau nggak?" Pinta Alfin dengan mengjongkok memegang erat tangan istrinya.

"Ayo kak," respon Ana dengan bahagia.

Anak-anak yang berlarian juga senang ada kakak cantik dan ganteng yang mau bermain dengan mereka. Kadang Ana menggendong anak cewek yang sangat lincah berlarian mengejar temannya. Tawa bahagia semakin tergambar dalam dirinya.

***
Waktu tak terasa, semua aktivitas bermain bersama anak-anak di taman membuatku lupa tentang masalah di Indonesia. Urusan kantor kuserahkan bersama Anton sekretarisku. Aku bekerja jarak jauh agar bisa terus bersama Ana. Kini yang terus kupandangi hanya wajah teduh yang terus menjadi akar rindu dan terus berkembang dalam hidupku.

Tak terasa waktu sudah berjalan selama setahun lebih aku menetap di Jepang. Bersama Ana. Sosok istri yang tak mampu tergantikan oleh siapapun sampai maut memisahkan kami berdua. Mimpi wanitaku akan segera terwujud. Mimpi bahwa ia akan membangun sekolah buat anak-anak yang tak beruntung dalam meraih mimpinya. Aku sebagai suaminya sangat mendukung mimpi itu. Bagiku, mimpinya tak sekedar mimpi biasa. Mimpinya adalah semangat ia mampu bertahan sampai saat ini. Walaupun sampai sekarang Ana tidak pernah bercerita tentang penyakitnya, aku sebagai suami tidak diam saja tidak tahu masalah itu. Faktanya selama ini aku mengetahui semuanya. Hanya saja aku tak mau terlihat lemah di hadapannya


"Kak, ayo sini sarapan dulu," ujarku menhentikan lamunan Kak Alfin yang menatapku di sudut pintu.

"Dek, kamu masak apa?"ucapnya sambil berjalan menuju meja melihat masakanku tertata rapi.

"Aku masak nasi goreng spesial buat bapak Alfin tersayang,"ucapku dengan alay heheh.

Aku sendiri geli mendengar ucapanku sendiri. Biasanya aku hanya bicara santai dan Kak Alfin yang selalu berusaha membuatku tertawa. Rasanya melihatnya senyum ada rasa bahagia tersendiri yang kurasakan.

Kak Alfin menarikku ke dalam pelukannya. Rasanya sangat nyaman dan ia mencium kepalaku dan aku hanya menutup mata seolah meminta kepada Allah agar umurku diperpanjang sedikit lagi agar aku bisa melihat suamiku tersenyum selamanya.

"Adek Ana tersayang ayo makan bersama kakak," ujarnya menarik tubuhku agar duduk di kursi makan kami.

Aku mengambilkan nasi goreng untuk Kak Alfin lalu menaruhnya dihadapannya.

"Khusus sarapan ini, dek Anaku tersayang harus makan dengan Kakak yang suap ya," ujarnya dengan mata yang dikedip kedipkan.

Aku yang menatapnya rasanya malu sekali. Dan Kak Alfin menyuapiku dengan telaten. Rasanya bahagia itu sangat sederhana. Melihatnya senyum adalah sumber bahagia.

"Dek, andai kita dipisahkan secepat kilat, percayalah ... kakak tidak akan mencari penggantimu. Hanya kamu selamanya.

Ucapan Kak Alfin mampu menembus relung hatiku. Selama ini aku diam mengenai penyakitku. Aku tak ingin membebaninya. Pikirku ketika ketika ia membawaku dalam pelukannya kembali.

Mimpi Sang WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang