Teriakan menggelegar membuat Utari menyembulkan kepalanya. Pasalnya Naya berteriak begitu kencang hingga membuat seisi rumah ikut bergetar. Bagaimana ia tidak berteriak. Ernan manarik Naya hingga diriny terjungkal. Alhasil, bokongnya menyium lantai.
"Ayah hwaa ini kalo bokong aku tambah tepos gimana?" rengek Naya. Dari arah pintu kamar kedua orangtuanya. Utari tertawa melihat ekspresi bingung Ernan.
"Duhh jangan dong. Nanti kamu tambah kaya papan triplek dong Kak. Bahkan nanti bisa lebih tipis dari papan triplek," kata Ernan dengan logat bingungnya.
"Ayah ish. Nggak lucu. Pokoknya Ayah harus tanggung jawab, nggak mau tau pokoknya," kata Naya sembari mengerucutkan bibirnya.
"Tanggung jawab apaan. Lagian salah Kakak juga, coba tadi kalo kamu nurut aja sama omongannya Ayah, nggak bakal jatoh tadi," kata Ernan berniat membela dirinya.
"Oh tidak bisa. Ayah tanggung jawab pokoknya. Besok Ayah harus traktir Nay jajan. Beli coklat yang banyak," kata Naya yang langsung bangkit dan kembali memasuki kamarnya.
"Loh-loh Nay? Bantuin Ayah dulu," kata Ernan sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Naya. Namun, hasilnya sama saja. Naya tidak membukakan kamar itu.
Ernan pasrah. Matanya menatap pintu kamarnya, masih ada Utari yang sedang menyembulkan kepalanya. Baru saja Ernan ingin menyapanya. Namun, Utari malah menutup pintu kamarnya.
"Hayati ternistakan," lesu Ernan dan langsung berjalan menuruni tangga. Malam ini ia berniat untuk tidur di sofa panjang depan TV.
♣♣♣
Pagi ini. Naya berangkat sendiri ke sekolahnya, karena ia masih marah dengan Ayahnya. Ia baru mau diantar setelah Ernan membelikannya coklat. Pagi tadi Ernan bahkan tak henti-hentinya membujuk isteri dan juga anaknya agar mau memaafkannya. Akan tetapi, hasilnya sama saja. Mereka tidak bisa diajak kompromi.
Naya berangkat menggunakan angkutan umum. Ia ingin membawa mobil sendiri, namun ia lebih ingin berangkat sekolah menaiki kendaraan umum.
Setelah angkutan itu berhenti di halte bus. Naya turun, ia mulai berjalan kaki untuk melanjutkan jalannya menuju kesekolah. Tidak terlalu jauh, hanya berjarak beberapa meter saja.
Motor sport berhenti tepat disamping Naya. Naya memandang sejenak, ia mengenali siapa si pemilik motor ini.
"El?" panggil Naya. Benar saja, orang itu adalah Rafa.
"Tumben jalan kaki?" tanya Rafa.
"Lagi marahan sama Ayah," balas Naya.
"Naik," kata Rafa sembari menujuk jok belakang dengan dagunya.
"Udah deket juga, nggak usah," kata Naya.
Rafa mendengus kesal. Namun, Naya justru melanjutkan langkahnya karena ia takut telat. Bukannya tak mau bareng dengan pacar sendiri. Naya hanya tak ingin jika banyak yang mengira tidak-tidak. Konyol memang, namun itulah Naya.
Rafa turun dari motornya. Helm-nya ia tenteng ditangannya. Lalu ia menuntun motornya itu, menyejajarkan langkahnya dengan langkah Naya.
"Kenapa malah dituntun? Kan nggak mogok," kata Naya dengan nada polosnya.
"Mau nemenin kamu jalan," balas Rafa dingin, namun justru malah membuat Naya blushing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Boyfriend [Ending]
Ficção AdolescenteSequel "DafFania" Rafael Anton Pranata A cover by : @yongsoemt_ ~~~~~~~~~~~~ Mencintai kawan kecil tidak dilarang agama maupun negara bukan? Itu yang aku rasain sekarang. Mencintai sahabat dari kita masih kecil. Namun siapa sangka jika dirinya yang...