TUJUHBELAS - PHOBIA

42 4 0
                                    

"Cepet pulang," Fea mencebikkan bibirnya sambil memegang tangan ibunya.

Ana mengelus kepala anaknya, "iya sayang. Mama sama papa berangkat, ya. Jangan aneh-aneh! Jangan males bersihin rumah! Awas aja mama dateng kondisi rumah ga karuan, mama ga restuin kamu sama dia!" Ana menatap pria di samping Fea.

"Apa banget mama! Mana bisa kaya gitu," Fero terkekeh ringan, "makanya nurut sama Mama kamu."

"Sal, om sama tante berangkat, ya." Fero menepuk pundak Faisal. "Jagain Fea, jangan diapa-apain dulu, belum resmi."

Yang disebut memukul pundak papanya. "Papa apaan, sih!"

"Hahaha, iya, om, tante. Saya jagain dia," Faisal tersenyum di akhir kalimat.

"Yaudah, hati-hati di rumah ya, sayang." Ana mencium dahi anaknya, lalu memeluknya.

"Kami berangkat," Fero dan Ana menaiki mobil lalu melambaikan tangan. "Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam. Hati-hati!" Setelah orang tuanya semakin mengecil lalu hilang, Fea memasuki rumahnya diikuti Faisal.

Faisal duduk di sofa depan televisi, senyumnya tak hilang sejak Fero dan Ana mulai pergi. "Kenapa, lo?"

Yang ditanyai menggeleng, "gue cuma seneng aja."

"Seneng apa?" Fea mengupas yupi bentuk hati di tangannya lalu memakannya.

"Gue rasain keluarga yang sebenarnya," tatapan Faisal mengerling ke langit-langit sendu. "Perhatian dari mama papa lo ke gue buat gue seneng, meskipun itu ga seberapa dibandingkan yang lo dapet selama ini."

"Nyokap ga pernah ada, dia selalu sibuk. Bokap gue, gue ga pernah kontakan sama dia. Tapi gue tau, duit gue ngalir terus setiap bulan di rekening gue. Tapi gue ga dapet kasih sayang." Gadis yang sedari tadi mengunyah permen itu merenung.

"Kita beda, ya?" Faisal menoleh, menaikkan alisnya. "Gue dipenuhi cinta dan kasih sayang, sementara lo cuma punya sedikit—bahkan hampir ga ada."

"Lo bisa jadi bagian keluarga gue, kok. Papa pernah cerita, dulu dia berharap punya anak cowo. Yang keluar gue." ujar Fea terkekeh di kalimatnya.

"Thanks," Fea mengulurkan tangannya dengan posisi terbuka. Faisal mengernyitkan dahinya.

"Buka tangan lo gini," yang diajak bicara patuh, membuka tangannya. Fea meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri Faisal lalu menggenggamnya. "Jangan sedih lagi."

Pria tampan itu mengunyah permen yang dimasukkan Fea ke dalam mulutnya seraya tersenyum. "Iya, sayang."

Spontan Fea melemparkan plastik pembungkus permen yupinya ke arah Faisal, "GILA! JAUH-JAUH!" Faisal hanya tertawa, menikmati menggoda gadis disampingnya.

"Lo phobia kata sayang, ya?"

"MANA ADA PHOBIA KAYA GITU?"

"Terus kenapa lo bilang gue gila pas gue bilang sayang?" Fea merona, "y-ya habisnya kalo lo yang bilang geli tau!"

"Geli tapi suka?" goda Faisal yang dibalas timpukan bantal oleh Fea. "Ngeselin, bye."

Fea memalingkan mukanya. Gemas, Faisal menarik mukanya lalu mencium pipi Fea. Yang dicium merona, menatap Faisal galak.

"FAISAL!!!" Pria tinggi itu terkekeh, "kenapa, mau lagi?"

"SIALAN YA LO!" Faisal semakin tertawa keras ketika wajah Fea memerah, sementara yang diketawai hanya menatap sebal.

"Bercanda sayang, sini-sini." 

Masih sedikit cemberut, Fea meletakkan kepalanya di paha Faisal yang saat ini mengelus rambut Fea, memperhatikan gadis itu.

FAISALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang