TIGAPULUHEMPAT - TOLERANSI SETINGGI HARAPAN

17 0 0
                                    

Jam menunjukkan pukul lima pagi. Keenam siswa SMA itu mulai mandi bergantian setelah melaksanakan sholat. Viol, Bayu, Fea dan Faisal sudah selesai dan tengah bersantai di depan televisi seraya bersiap-siap sementara Edgar masih berganti pakaian. Nayla dan Darius yang baru saja keluar dari kamar mandi dari kamar yang bersampingan langsung adu mulut dari lantai atas.

"Lo tuh udah gede, udah delapan belas tahun! Habis ini ujian kelulusan! Masih aja mikirin main, mana ga tau waktu lagi!"

Darius yang mengeringkan rambutnya dengan handuk menghentikan aktifitasnya lalu menyengir. "Semalem CS telepon, ngajak ngebar. Terus keasikan. Gue aja dianterin sama Gilang sama Gio."

"Masih pagi, Nay. Lo udah muring-muring aja kaya mama gue." Ucap Fea ikutan sebal.

"Lo tau? Jam tiga pagi gue bangun, gue papah dia yang mabok ke kamar. Jam tiga pagi, plis deh! Bener-bener mengganggu waktu tidur gue, njir!"

Faisal meletakkan ponselnya. "Iya? Kok gue ga sadar?"

"Iya, gue juga. Padahal gue tidur di meja."

Nayla memutar matanya. "Lo berdua nyaman banget kali tidur sambil pegangan tangan, kaya suami istri."

Fea memerah sementara Faisal malah terkekeh-kekeh. Reaksi yang ditunjukkan keduanya benar-benar berbeda. "Aminin aja. Lulus SMA gue lamar."

"Sekarang aja, kali, biar ga kalah jauh sama Edgar." Goda Bayu membuat Fea melemparinya dengan bantal. "Ga lucu."

Mereka semua menertawai Fea hingga ponsel Fea berbunyi. Papanya menelepon.

Fea mengaturnya dalam mode speaker agar ia bisa memasang kaus kaki. "Iya, pa?"

"Jangan telat sekolah, Fea. Udah rapi semua, kan? Udah siap? Temen-temen kamu?"

"Udah, om! Ini mau berangkat," tukas Faisal menjawab.

"Kok lo yang jawab?" Faisal hanya menyengir.

"Kan dia temen kamu juga, Fe. Nanti beli sarapan dulu di sekolah. Yang rajin, jangan males."

"Iya papa sayangg. Fea tutup ya, dah papa!" Fea menekan tombol merah.

Baru beberapa detik ponsel itu berdering lagi. Fea yang sedang tanggung-tanggungnya memasang kaos kaki langsung mengangkatnya dan membuka mode speaker.

"Iya papa sayanggg, ini Fea mau berangkat, masih pakai-"

"Sekarang mama-papa-an sama gue?" Fea membelalakkan matanya. Ia menyambar ponselnya di atas meja. Ia menutup mukanya yang memerah menahan malu.

"Lo sekarang mama-papa-an sama Cello, Fe? Wah, parah si, Lo!" Edgar berteriak di dekat ponsel bermaksud agar Cello mendengarnya.

"Papa aja gausah sayang." Ucapan Cello yang tenang dari seberang sana membuat Fea semakin malu. Ia lalu menonaktifkan mode speakernya lalu berlari keluar.

"E-eh, nggak gitu maksud gue, njir! Tadi papa telepon pas gue pake kaos kaki."

"Jadi kontak gue lo namain papa?"

"Ngga gitu Lo, anjinggg. Tadi papa telepon pas gue pake kaos kaki, gue speaker gue taruh hpnya. Terus pas udah dimatiin lo yang telepon. Gue asal buka aja, gue speaker. Bukan gitu maksud gue!" Fea menjelaskannya dengan terburu-buru.

Cello tertawa di seberang sana. "Gue paham, gue cuma bercanda, Fe. Buruan keluar, gue di depan."

"Tapi gue lagi di rumah Nay-" Klakson motor yang familiar di telinganya berbunyi. Ia menengok sela-sela gerbang besar Nayla dan terlihat Cello bersama motornya yang terparkir rapi. Cello tersenyum ramah.

FAISALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang