17

679 74 12
                                    

I hope you enjoy my story.

Happy reading!

~●~

Sesuai dengan apa yang dikatakan Mondy, kini mereka berdua telah berada di Taman Pelangi.

"Keren bat, gila." Ungkap Raya, dia terpesona dengan apa yang dilihatnya.

Mondy tersenyum, "ucapan gue tuh gak ada yang bohong." Katanya, sombong.

"Dih." Cibir Raya. Mondy tertawa mendengarnya.

Raya menunduk, mengeluarkan handphone di saku hoodie hitamnya, mengotak-atiknya, lalu mengajak Mondy buat foto bersama.

"Entar kirimin ke gue ya." Pinta Mondy, selepas mengabadikan beberapa gambar di handphone Raya.

"Langsung gue kirim sekarang aja." Jawab Raya, tanpa mengalihkan wajahnya dari handphone-nya.

"Okay."

"

Ray." Panggil Mondy. Raya hanya bergumam sebagai jawaban, "Hm."

"Raya." Panggilnya sekali lagi.

"Apa?" Tanya Raya, tapi mata Raya masih fokus dengan handphone-nya.

"Ck, lihat gue dulu." Mondy merengek seperti bocah lima tahunan yang keinginannya tidak terpenuhi.

"Dih, jijik bat lo kek gitu." Raya tertawa. Mondy ikut tertawa.

"Ada apa?" Lanjut Raya setelah dia menghentikan tawanya. Tawa Mondy juga ikut berhenti.

"Lo itu bukan seperti bintang yang dapat dilihat banyak orang, tetapi seperti kunang-kunang yang sulit ditemukan." Mondy tersenyum tipis sembari matanya menatap hamparan bintang di langit.

Raya yang mendengar ucapan Mondy merasa pipinya memanas. Dia tersenyum tertahan.

"Lo kalo mau senyum, senyum aja kali. Gak usah ditahan gitu." Ucap Mondy, tersenyum jahil. Suasana yang seharusnya romantis terpecah karena ucapan Mondy.

"Ngeselin bat si lo." Kata Raya, dia tidak segan-segan untuk menabok lengan Mondy.

"Aduh." Mondy mengaduh, tangan kanannya mengelus lengan kiri yang ditabok Raya.

Raya mencibir, "Lebay."

"Gue abis kena balok kayu terus kena tabok. Makin memar dah lengan gue. Untung cantik." Gumam Mondy, namun Raya masih mampu mendengarnya.

"Balok kayu?" Batin Raya.

"Abis ikut tawuran ya lo?!" Tebak Raya, tapi lebih ke menuduh.

"Mampus." Umpat Mondy, dalam hati.

"Enggak." Jawab Mondy. Raya tidak percaya begitu saja, lantas dia menatap bola mata Mondy untuk mendapat kejujuran dari sana. Setelah itu dia berdecak, lalu menyibak lengan kaos hitam yang dipakai Mondy. Raya menemukan memar di sana. Mondy cuma bisa memejamkan mata.

"Ikut gue." Ucap Raya, datar.

Mondy berjalan di belakang Raya dengan memegang lengannya.

~●~

"Ssh, pelan-pelan." Mondy mendesis. Mereka berdua telah berada di depan warung makan pinggir jalan, dengan Raya yang mengobati luka Mondy.

"Makanya gak usah begayaan ikut tawuran." Kesal Raya.

"Dapat apa lo dari tawuran?" Tanya Raya, dingin.

Mondy diam.

"Gak bisa jawab kan lo?!"

"Maaf." Ucap Mondy, pelan.

Mengabaikan permintaan maaf Mondy, Raya justru bertanya masih dengan nada dingin, "berapa orang yang lo gebukin?"

Mondy menciut. Dia merasa sikap Raya yang seperti ini terasa menyeramkan.

"Lima? Sepuluh? Lima belas?" Raya menaikkan sebelah alisnya.

"Gue gak tawuran." Mondy semakin menciut saja.

Raya menghela nafas, menurunkan kembali kaos Mondy setelah mengompres lengannya dengan air hangat yang dia dapatkan dari warung tersebut.

"Ray." Panggil Mondy. Raya mendongak tanpa mengeluarkan suara.

"Gue suka elo perhatian sama gue. Nggak kek mereka yang pergi saat tau hidup gue yang sebenarnya." Ucap Mondy, dia tersenyum tipis, namun sorot matanya terlihat sendu, seperti kehilangan sosok yang sangat berarti di hidupnya.

Raya tertegun.

~●~

Thanks for reading!

Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang