I hope you like and enjoy my story!
Happy reading!
~●~
Raya menyusuri koridor rumah sakit dengan Rian di sampingnya yang membantunya membawa tiang infus. Raya berniat menjenguk Mondy. Gadis itu sudah dibujuk Rian beberapa kali untuk menggunakan kursi roda, tetapi ia tolak mentah-mentah.
Dengan perban yang melilit kepalanya, gadis itu juga menolak saat akan digendong Rian. Sifat keras kepalanya itulah yang membuat Rian mau tidak mau harus menuruti permintaannya, daripada nanti Rian yang kena amuk. Kan nggak lucu!
"Gue tunggu disini." Ujar Rian ketika sudah di depan ruang ICU.
"Lo balik dulu juga nggak papa."
"Nggak, gue tungguin lo."
"Yaudah deh, makasih ya."
"Hm, sana masuk. Uda ditungguin Mondy tuh." Rian menunjuk Mondy yang terbaring dengan dagunya. Raya mengikuti pandangan Rian, lalu menghembuskan nafas pelan.
"Gue masuk dulu." Pamit Raya sembari mendorong pintu ruang ICU.
Raya meletakkan tiang infus di sampingnya dan memandang Mondy sendu.
"Hai, sayang." Sapa Raya dengan senyuman sendunya.
Kalau saja Mondy sadar dan ia mendengar sapaan Raya, ia bisa senyum-senyum kesenangan melebihi perasaannya ketika dibalas Raya.
"Lo nggak mau bangun?" Tanya Raya dengan senyum tipis menahan tangis melihat keadaan Mondy yang memprihatinkan. Kepala diperban, kaki digips, luka-luka di wajah, dan mungkin organ dalam Mondy juga tidak baik-baik saja. Tubuh Mondy juga terlihat lebih hitam dari sebelum koma.
"Gue uda bangun loh, lo nggak kangen gue?"
Tangan Raya bergerak mengusap lembut pipi Mondy. "Gue kangen tahu sama lo."
"Buruan bangun ya, lo mau gue panggil sayang kan? Gue bakalan manggil sayang terus kalo lo bangun."
Raya diam sejenak, matanya melirik EKG yang menampilkan garis-garis menanjak. Lalu, melirik ventilator yang terpasang di hidung dan mulut Mondy.
"Masa lo kalah sama cewek galak kek gue, sih? Gue uda bangun loh kemarin. Banyak yang khawatir sama lo tau, Mon. Jadi, cepet bangun ya, sayang."
Raya berhenti mengusap pipi Mondy, namun tidak menarik tangannya dari sana. Ia terdiam sejenak sambil menghembuskan nafas pelan, lalu kembali tersenyum tipis.
"Gue besok ulang tahun. Gue berharap lo bangun dan ucapin selamat buat gue. Itu bakalan jadi kado terbaik yang nggak akan gue lupain."
"Gue pergi dulu ya, lo cepet bangun." Pamit Raya, ia melirik mata Mondy yang terpejam erat, lalu menggenggam tangan Mondy yang terpasang infus dan pulse oximeter di jempolnya. Tak berapa lama, sebab Raya hanya ingin menggenggam tangan itu sejenak sebelum keluar ruangan.
"Dadah, sayang." Lirih Raya dari luar ruangan dan menatap Mondy melalui kaca transparan yang menjadi pembatas antara dirinya dan Mondy.
~●~
Ruangan Raya dipenuhi banyak orang. Terdengar beberapa ucapan selamat ulang tahun dari mereka. Raya mengucapkan terima kasih sembari mengembangkan senyumnya. Namun, ia merasa ada yang kurang, sebab cowok yang diharapkan kedatangannya tak kunjung bangun dari koma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya✔
Teen Fiction"Hidupnya yang dulu kelabu, menjadi mejikuhibiniu." Jangan lupa, setelah duka ada tawa, begitupun sebaliknya. Dan semua itu sebab Takdir Sang Pencipta. Cover by pinterest. © Fryanti Ishara Rifani, 2018.