I hope you like and enjoy my story!
Happy reading!
~●~
Mondy memandangi teman-temannya bergantian. Saat ini, tepatnya seminggu setelah ia pingsan di sekolah waktu itu, Mondy, Rian, Angga, dan Ari tengah berkumpul di kamar Mondy.
Di depan televisi berlayar datar 21 inch itu ada Angga dan Ari yang sedang bermain PS, sedari tadi mulut mereka tidak berhenti barang sedetik pun untuk diam.
Lalu di atas ranjang hitam di tengah kamar, Rian dan Mondy duduk berdampingan sambil bersender di punggung ranjang. Rian sibuk sekali memainkan handphone-nya, mengabaikan Angga dan Ari yang menyebut-nyebut namanya. Mondy sendiri dari tadi hanya memandang teman-temannya sambil sesekali menghembuskan nafas berat.
"Tembak woy tembak." Teriak Ari ke televisi di depannya, tangannya bergerak-gerak memainkan stick ps.
"Serangggg." Kali ini suara Angga.
"Woy, jangan diem aja dong lo."
"Abis ini kalah lagi lo, Ri."
"Enggak-enggak, gabisa."
"Itu punya lo uda mau mati."
"Diem lo."
"Mampus lo, abisin. MANTAP." Teriak Angga di akhir kata saat melihat jagoan Ari mati.
"YHAAAAA. AH, GOBLOK." Umpat Ari, kesal setengah mati. Sudah tiga kali ia kalah dengan Angga.
"Hahah, apa gue bilang. Lo pasti kalah lagi." Ledek Angga.
"Keberuntungan lagi sama lo aja." Elak Ari.
"Dih, kalah mah kalah aja." Sewot Angga.
Ari hanya melengos.
"Nggak asik main sama lo, menang mulu gue. Enakan sama Rian." Ujarnya jumawa. Ari mendengus, "SOMBONGG!!"
Angga tertawa puas, "Bukan sombong. Ngomongin fakta."
"Halah, uda ah. Capek gue." Ari merebahkan tubuhnya di karpet tebal yang menjadi tempatnya duduk tadi. Angga yang melihat itu segera menarik Ari agar bangkit, "Eh, mau ngapain lo?!"
"Tidurlah, bego. Lo gak liat?!"
"Sesuai perjanjian. Yang kalah ambilin kita-kita minum. Sana ambilin." Angga mengusir Ari, sekarang ia yang merebahkan tubuhnya di karpet itu. Ari bangkit sambil mendumel, sebelum keluar kamar ia menyempatkan untuk menendang kaki Angga.
"BANGKEEE!!" Teriak Angga. Ari berlari sambil tertawa puas.
"Eh, Mon pinjem sisir." Celetuk Rian. Anak itu bangkit dari sandarannya. Mondy melirik sekilas, lalu memainkan handphone-nya.
"Pake aja noh. Di meja." Rian berjalan menuju meja yang dimaksud Mondy. Lalu, menyisir rambutnya.
"Mau kemana lo sisiran segala?" Tanya Angga.
"Nggak kemana-mana."
"Terus ngapain lo sisiran? Sok cakep banget." Cibir Angga.
"Suka-suka gue dong." Balasnya sewot.
"Uda deh, Ga. Lo kek nggak hapal Rian aja, diakan emang seneng bat nyisir rambutnya." Bela Mondy. Angga memutar bola matanya.
"Tuh, dengerin." Rian kembali menyisir rambutnya, lalu saat akan menaruh sisir ke tempat semula, ia menemukan sesuatu yang membuat keningnya berkerut dan memandang Mondy tak percaya.
"Mon, ini punya lo?" Tanya Rian, hati-hati, sambil mengangkat benda yang dilihatnya ke Mondy.
Mondy menoleh, ia tersentak melihat Rian menemukan benda itu. Benda yang coba ia sembunyikan baik-baik dari mereka. Mondy menatap mereka takut. Tubuhnya tiba-tiba gemetar. Angga juga ikut menoleh memperhatikan benda yang dibawa Rian, lalu cowok itu juga menatap Mondy tak percaya.
"Iya." Jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Rian dan Angga menatap Mondy tak percaya sambil menggelengkan kepalanya. Bertepatan dengan jawaban Mondy itu, Ari datang dengan nampan berisi empat gelas jus melon di tanganya. Ia juga mengeluarkan ekspresi yang sama dengan Angga dan Ari.
"Ah, boong lo." Rian tertawa tidak percaya.
"Itu emang punya gue." Tegas Mondy.
Serempak, ketiga cowok itu melototkan matanya. Bahkan Ari hampir menjatuhkan nampan yang dibawanya, untungnya dengan sigap ia dapat menyeimbangkan tubuhnya.
"Sejak kapan lo pake ginian?!" Tanya Angga, sangsi. Ia masih tak percaya bahwa teman baiknya memakai barang yang tak pernah sekalipun terpikirkan olehnya. Bagaimana bisa Mondy menggunakan barang itu? Kenapa juga Mondy harus memakai barang itu?
"Kelas tiga SMP." Dengan amat sangat terpaksa Mondy harus menceritakan keadaannya selama hampir tiga tahun. Menceritakan mengapa ia harus menggunakan barang itu. Ini sudah saatnya mereka tahu. Begitu pikir Mondy.
Selepas Mondy menceritakan semuanya, ia menatap teman-temannya melas. Ia sudah siap apabila sahabat-sahabatnya akan meninggalkannya seperti mereka.
"Kenapa lo gak pernah cerita ke kami, Mon?" Tanya Rian, lirih. Ia mengacak rambutnya yang baru selesai ia sisir itu. Heran sekali ia dengan cowok satu itu, kok bisa-bisanya nyembunyiin sesuatu yang penting dari mereka-sahabatnya.
"Kami emang nggak bisa bantu, tapi dengan elo cerita ke kami setidaknya lo ngerasa lega, lo ngerasa punya semangat, lo ngerasa didukung. Dan elo nggak bakal ngerasa sendirian." Ujar Angga. Cowok itu menatap Mondy tak kalah lirihnya dengan Rian.
"Mon, kami nggak bakalan ninggalin elo. Lo nggak perlu takut buat nyeritain ini semua ke kami." Ucap Ari sambil menepuk bahu Mondy yang kini si pemilik menundukan kepalanya.
"Tolong jangan kasih tahu, Raya." Pinta Mondy.
"Tapi, lama-kelamaan Raya juga bakalan tau." Kata Angga.
"Gue belum siap ditinggal dia." Lirihnya, ia menatap sahabat-sahabatnya dengan tatapan sendu.
"Raya bukan cewek kek gitu." Sentak Rian sambil berlalu keluar dari kamar Mondy. Rian marah, Rian kecewa, Rian sedih. Rian nggak sanggup berada di kamar itu lama-lama. Rian perlu menenangkan dirinya, dan berharap ini hanya mimpi.
~●~
Thanks for reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya✔
Teen Fiction"Hidupnya yang dulu kelabu, menjadi mejikuhibiniu." Jangan lupa, setelah duka ada tawa, begitupun sebaliknya. Dan semua itu sebab Takdir Sang Pencipta. Cover by pinterest. © Fryanti Ishara Rifani, 2018.