Tigadua

2.6K 116 0
                                    

— Kini tinggal menunggu hari , bayanganmu tak nampak lagi.
Semua takan sama saat aku bersamanya.

-///-

Biru melihat pemandangan lalu lalang motor dan mobil dari atas rooftop rumah sakit milik ayahnya. dengan sebotol minuman berada pada tangan.

Diteguknya minuman itu perlahan, lukanya sedikit berkurang ketika minuman itu masuk ketenggorokannya.

Biru merasakan ada seseorang terduduk disampingnya tapi Biru tidak menoleh, matanya masih fokus kebawah melihat motor dan mobil.

"Kapan mau pulang dan sekolah?"

Biru diam ketika suara itu bertanya kepadanya. Laki-laki itu justru meneguk kembali minumannya

"Biru Wiranda"

"Saya mau pindah ikut kamu ke Jerman" kata Biru membuat lawan bicaranya tidak percaya.

"Kamu yakin?"

Biru membuang nafas beratnya "mau saya disini atau di Jerman tetap tidak ada yang bisa menerima saya dengan baik"

"Maafkan Ayah Biru"

Biru menoleh, memperhatikan mata Septian. Memang ada penyesalan disana. Lalu Biru kembali menatap kebawah.

"Kerjaan saya cuma bikin kamu malu,bikin nama baikmu rusak dan sekarang kamu malah minta maaf ke saya" ucap Biru ketus yang kembali meneguk minumannya.

"Ayah, kangen kamu panggil Ayah Biru. Ayah tau , ayah gagal jadi seseorang yang bisa menerima kamu sebaik Bunda kamu. Ayah tau ayah mungkin penyebab besar Bunda kamu bunuh diri karena lelah sama sifat Ayah"

Biru meneguk minumannya "Kamu tau? Setelah Bunda ternyata engga ada menerima saya. Cuma Bunda yang bisa nerima saya tanpa nilai buruknya saya, tanpa nilai gagalnya saya...

...mungkin Jingga memang bisa lebih bikin kamu bahagia , lebih bisa banggain kamu ketimbang saya yang kerjaannya berkelahi, buat onar, dipanggil Guru" Biru tertawa sarkas

"Tapi apa kalian semua paham kalau pelarian saya cuma bisa kesana?"

"Maafin Ayah , Biru" ujar Septian yang mengeluarkan airmata "kita coba untuk belajar memperbaiki dan mengerti , engga ada yang terlambat kan?"

Biru menaruh botol minumannya dan menoleh kearah Septian. Laki-laki ini membuang nafas beratnya lalu mengangguk.

Septian memeluk anak bungsunya "kalau memang kamu engga mau tunangan Ayah jadi pengganti Bundamu ayah akan gagalkan"

Biru melepaskan pelukannya dengan sang Ayah "Emang engga ada yang boleh gantiin posisi Bunda cuma kalau ada orang yang mau jadi istri Ayah itu gapapa"

"Kamu tadi manggil saya Ayah?"

Biru mengangguk dan mengulum senyumnya.

Septian kembali memeluk Biru "kita coba untuk memperbaiki dan memahami ya, Nak "

"Iya , Ayah "

-///-

Gadis ini sedang memandangi langit-langit kamarnya. Perasaan menyesal sangat menghantui dirinya.

Ponsel Dira berdering menampakan satu notifikasi disana

Biru Wiranda
Kedai kopi biasa ya, gue tunggu.

Pesan itu langsung membuat Dira bangkit dari tidurnya untuk siap-siap.

-//-

Asap mengepul keluar dari masing-masing cangkir kopi.

"Aku mau minta maaf" ujar Dira

"Kita berdua salah"

"Tapi seharusnya aku engga sampe ngusir kamu, Biru"

"Udahlah , Dir. Yang udahmah udah"

Dira menunduk dan terdiam. Biru menyodorkan kotak berwarna hitam kepada Dira, gadis itu mengangkat kepalanya untuk melihat Biru.

"Buka"

Dira mengangguk lalu membuka kotak itu, didalamnya ada kalung dengan liontin huruf R. Biru bangkit dari duduknya

"Sini dipakein" katanya yang kemudian memasangkan kalung itu.

Dira memegang liontin itu saat kalung sudah terpasang. Biru kembali duduk dan mengulum senyum.

"Saya mau ikut Ayah pindah kejerman"

Ucapan Biru barusan mampu membuat Dira tak percaya.

"Apaan si,Bi. Bercanda mulu dah" kata Dira dengan ketawa yang dibuat-buat

Biru menggeleng "anggap itu hadiah perpisahan dari saya. Besok saya berangkat kejerman"

"Bi.." Dira menahan tangisnya. Biru menyelipkan rambut kebelakang kuping  Dira.

"Jaga diri kamu baik-baik. Jangan suka buat kesel Bilal, jangan lupa Doa, jangan males belajar. Makannya yang teratur" Biru mengulum senyum.

"Biru.." ucap Dira lirih, gadis ini menahan air matanya.

"Kamu bakalan baik-baik aja, kalau emamg kamu ditakdirkan untuk dibersamakan sama saya kita bakalan ketemu di ketidak sengajaan yang lainnya"

Biru bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat kearah Dira. Laki-laki itu mencium pucuk kepala Dira dalam-dalam.

"Saya sayang kamu Randira" ucapan terakhir Biru yang kemudian berjalan menjauh dari Dira.

Dira menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis sejadi-jadinya.

Biru Dan Randira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang