🍁{Chapter 10}🍁

29.1K 1.3K 21
                                    

"Aku mohon, jangan pernah berpikir untuk pergi karena kini hatiku mencintaimu."

Happy Reading ❤

🍁

Bel pulang sekolah berbunyi di seluruh penjuru sekolah. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Guru sudah keluar dari kelas Aleta dan siswa-siswi di kelas Aleta mulai meninggalkan kelas satu persatu.

Aleta memasukan alat tulisnya ke dalam tasnya. "Ta, gue pulang duluan ya. Lo hati-hati pulangnya," ujar Kyra.

Kyra beranjak pergi tapi Aleta mencekal pergelangan tangannya. "Kamu juga hati-hati ya pulangnya Ra," sahut Aleta tersenyum.

Kyra mengangguk, dia pergi meninggalkan Aleta. Di kelas hanya tersisa Aleta dan Laura. Saat Aleta berdiri, Laura malah mendorongnya hingga punggungnya terbentur kursi.

Laura menatap Aleta sinis lalu ia menjambak rambut Aleta. "Gue gak suka lo sekolah di sini miskin, harusnya orang miskin kaya lo tuh ngemis aja bukannya sekolah!" cetus Laura.

"Lo cuma sampah di sini, gak akan ada yang menanggap lo sebagai manusia di sini karena lo itu miskin! LO MISKIN DAN LO GAK PANTAS BUAT HIDUP! SAMPAH!" lanjut Laura.

Aleta hanya diam merasakan rasa sakit karena rambutnya dijambak dengan kasar oleh Laura.

Laura menjauhkan tangannya dari rambut Aleta lalu ia beralih menarik kerah seragam Aleta. "LO DENGER GUE GAK SIH! LO TUH MISKIN, SAMPAH, GAK PANTES BUAT HIDUP! MATI SANA!" teriak Laura.

Laura mendorong Aleta dengan kasar sampai Aleta terduduk di lantai. Aleta memandangi sorot tajam mata Laura kelihatan sekali kalau Laura sedang marah.

Laura jongkok di depan Aleta lalu ia menampar pipi Aleta. "Lo harus pindah dari sini kalau lo gak mau lebih menderita lagi. Mending lo ngemis aja sana," ujar Laura sinis.

Aleta mulai merasakan perih di pipinya. "Emang aku salah ya sekolah di sini? Aku kan cuma mau ngejar cita-cita aku yang pengen jadi dokter," lirih Aleta.

Laura tertawa dengan keras seakan-akan perkataan Aleta itu lucu.

Laura menekan kedua pipi Aleta menggunakan tangan kanannya. "Apa lo bilang! Pengen jadi dokter? lo gila ya! Lo tuh cuma orang miskin, orang miskin kaya lo tuh gak mungkin jadi dokter. MIMPI!" ejek Laura.

"Harusnya lo sadar diri kalau lo itu cuma sampah. Ngehayal tuh jangan ketinggian bangsat!" lanjut Laura sambil menoyor kepala Aleta.

Laura kembali menampar pipi Aleta lalu ia berdiri berbalik pergi meninggalkan Aleta yang masih terduduk di lantai.

Hatinya kembali terluka. Kenapa orang-orang selalu merendahkannya? Suatu saat nanti Aleta akan membuktikan pada semua orang kalau ia juga bisa sukses.

Laura menghampiri Kyra yang berdiri di luar kelas. Kyra tersenyum lebar begitupun dengan Laura yang juga tersenyum puas.

Mereka berjalan beriringan. "Tadi gue belum puas banget nyiksa si miskin itu Ra," jelas Laura.

Kyra menyeringai. "Lo tenang aja La, gue udah punya rencana yang luar biasa buat si miskin itu," ujar Kyra.

BRUK

Kyra tidak sengaja menabrak bahu seseorang, dia terkejut karena orang itu adalah Alvaro. Kyra tersenyum manis pada Alvaro. "Maaf ya, gue gak sengaja. Lo gak papa?" tanya Kyra.

"Gue gak papa kok. Gue juga minta maaf ya, lo gak papa kan?"

Kyra merasa senang karena Alvaro menanyakan keadaannya. "Gue gak papa," jawab Kyra.

"Kalian sekelas sama Aleta kan, kalian lihat Aleta gak?" tanya Alvaro.

Kyra mulai merasakan rasa sakit yang menjalar di hatinya. Ia tidak suka Alvaro dekat dengan Aleta. "Dia ada di kelas," jawab Kyra lembut.

Alvaro tersenyum. "Makasih ya," ujar Alvaro lalu ia melangkah pergi meninggalkan Laura dan Kyra.

Kyra memandangi punggung Alvaro yang semakin menjauh. "Gue bakal bunuh si miskin itu karena dia berani ngerebut Alvaro dari gue," batin Kyra.

Alvaro tersenyum lebar saat ia melihat Aleta yang baru saja keluar dari kelasnya. Alvaro langsung mendekati Aleta. "Ta," panggil Alvaro.

Aleta tersentak ketika Alvaro tiba-tiba ada di depannya, dia tidak menyadari kedatangan Alvaro. Aleta tersenyum. "Kok kamu nyamperin aku ke sini Al? Katanya kamu mau nunggu di parkiran," ujar Aleta.

Alvaro menyipitkan matanya saat melihat pipi Aleta yang membiru.

Alvaro mengulurkan tangannya menyentuh pipi Aleta dan refleks Aleta merintih pelan. "Pipi lo kenapa? Lo abis ditampar?" tanya Alvaro merasa khawatir.

Aleta tersenyum tipis. "Gak kok Al. Tadi aku kepleset terus pipi aku ngebentur meja, jadi biru gini," jelas Aleta.

Aleta tidak mau menceritakan yang sebenarnya pada Alvaro karena cukup ia saja yang tau tentang penderitaan dirinya sendiri.

Alvaro menghela napas kasar. "Ikut gue," ujar Alvaro lalu ia menarik tangan Aleta agar melangkah bersamanya.

Alvaro membawa Aleta ke UKS. Alvaro membuka pintu UKS lalu ia melihat Tasya teman sekelasnya sedang merapihkan obat-obatan.

"Ekh Alvaro, ada apa nih?" tanya Tasya ketika melihat Alvaro. Hari ini Tasya mendapatkan tugas jaga UKS karena ia ikut eskul PMR.

"Gue minta tolong lo obatin Aleta," ujar Alvaro.

Tasya melirik Aleta. "Ternyata dia yang lagi heboh dibicarain banyak orang itu," batin Tasya.

Tasya memperhatikan penampilan Aleta dari kepala sampai ujung kaki lalu ia tersenyum tipis. "Ya udah, Aleta duduk dulu ya gue mau ambil es batu dulu buat obatin lebamnya," ujar Tasya.

Tasya menepuk bahu Alvaro pelan. "Jagain dia Al," ujar Tasya lalu ia melangkah pergi.

Aleta tersenyum tipis. Ternyata tidak semua orang di sini bersikap jahat padanya.

Tasya kembali dengan membawa es batu dan juga sapu tangan lalu ia duduk di depan Aleta.

"Maaf ya kalau sakit," ujar Tasya. Tasya mengompres pipi Aleta dengan sangat hati-hati.

"Kamu gak jijik sama aku?" tanya Aleta.

Tasya masih sibuk mengompres pipi Aleta yang lebam. "Ngapain gue jijik sama lo? Lo manusia dan gue juga manusia gak ada alesan buat gue jijik sama lo," jelas Tasya.

Alvaro tersenyum tipis. Ia bersyukur karena masih ada orang yang bersikap baik pada Aleta.

🍁

Jangan lupa tinggalkan jejak ❤

Sad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang