Bab 3

2.7K 323 3
                                    

Gue menyusuri jalan menuju FEB, berjalan lurus tanpa belok ke kantin FEB yang penuh dengan memori buruk kalau gue ingat- ingat lagi. Sahabat gue yang cerewet ini minta ditemenin makan siang padahal ini jam setengah tiga sore. Gue memutuskan duduk di taman FEB, menghindari hal- hal buruk terjadi kayak waktu itu.

"Chaerin? Ngapain disini?"

Jackpot! Ketemu Kak Wooseok. Iya, kakaknya Minju yang udah semester lima. Kak Wooseok itu definisi pria yang sempurna. Berani taruhan, gak ada satupun cewek yang gak pernah bilang Kak Wooseok itu ganteng. Siapa sih yang gak mau sama kak Wooseok, pemilik kedai kopi yang laku keras, padahal dia belum lulus. Katanya sih 'iseng- iseng berhadiah'. Iya, berhadiah puluhan juta perbulan ya, kak.

Gue kenal Kak Wooseok dari gue SMA. Ya, semenjak gue temenan sama Minju. Orangnya emang gak neko- neko, punya pacar juga langgeng banget, putusnya setelah tiga tahun pacaran. Duh, nyesel pasti ceweknya sekarang.

"Gue nungguin Minju kak, katanya mau makan siang bareng."

"Lo emang abis ini masih ada kelas?"

Gue menggeleng pelan.

"Chaerin! Kak Wooseok?" iya, itu Minju yang tiba- tiba dateng sambil meluk gue dari belakang. "Mau makan dimana?" tanya Kak Wooseok dengan-seperti biasa-suara lembutnya. "Hah, gue ga ngajak lo, Kak!"

"Lo mau gue anterin gak sih? Udah ya, gue ambil mobil dulu. Tunggu sini," ujar kak Wooseok sambil berjalan pergi. Definisi idaman, peka, banget.

"Minju, ini kotak pensil lo ketinggalan," kata seorang laki- laki tinggi yang ada di hadapan gue. Dia gak sendiri, di sebelahnya ada sesosok manusia yang gak pernah gue harapkan untuk liat, Lee Hangyul. Dia ngeliatin gue dengan muka sinis seolah berkata 'lo ngapain disini?'

"Eh, thankyou! Ini kenalin temen gue, Chaerin," ujar Minju memperkenalkan gue.

"Yohan," katanya. Yohan dan Hangyul kemudian gak lama pergi.

"Tadi sahabat gue. Temen pertama gue di kelas," sahut Minju dengan muka yang berbunga- bunga. Temen gue yang bodoh ini, ketauan banget kalau lagi jatuh cinta.

Gue menautkan kedua alis. "Minju, lo masih inget apa yang gue bilang, kan?" kata gue. Dia menghela nafas panjang "Yes I am. Kalo ada cowok cewek sahabatan, pasti ada yang nyimpen perasaan. Ya kan?"

Gue mengangguk. Frasa itu rasanya sangat benar dan buktinya adalah gue dan Eunsang. Lihat, kan? Hidup gue sekarang semuanya selalu kembali ke Eunsang. Dia itu sosok anak OSIS dan anak tongkrongan yang kerjaannya cuma tidur di kelas, tapi entah kenapa setiap ulangan matematika dan fisikanya selalu di atas sembilan puluh, walau ia kesulitan dalam pelajaran biologi.

Sampai sekarang pun gue masih bingung gimana cara Eunsang atur waktu antara OSIS, nongkrong, belajar, bahkan ngurus beasiswa ke Canada. Iya, ke Canada. Duh, kalau aja dia bisa muncul di hadapan gue sekarang, gue minimal mau ngatain dia 'brengsek' lalu meluk dia sambil mukul- mukul dada dia.

Andai aja.

Gue mengalihkan pandangan lagi ke arah Yohan dan Hangyul pergi tadi. Gak heran juga Hangyul punya banyak fans, kalau sekali lihat sih, fashion sense dia super bagus. Bukan kayak orang kaya baru yang norak. Mungkin gue bakal muji dia kalau cuma sekilas lihat loh ya. Sayang aja, first impression gue ke dia adalah sebuah ke-zonk-an.

Dan, ada seorang perempuan yang nyamperin Hangyul, lalu memeluknya. "That's Hyerin. Emang deket sama Hangyul," ujar Minju.

"Gila cantik banget. Mau sama Hangyul?"

🍃🍃

Untung ini hari Jumat, jadi gue bisa leyeh- leyeh di apartemen tanpa beban. Seperti biasa, apartemen kosong. Ya, ini juga baru jam setengah tujuh, masih pagi buat seorang Lee Hangyul untuk pulang. Selesai gue mandi, gue langsung nyalain netflix dan mulai searching film buat gue tonton. Semenjak Riverdale Season 3 udah kelar, hidup gue kayak hampa banget. Gak ada lagi muka ganteng KJ Apa atau Cole Sprouse yang bisa gue fangirling-in dari layar TV, atau sekedar mengagumi fashion sense nya Cheryl Blossom yang keren banget.

Gak lama kemudian, handphone gue berbunyi. Gue terheran dengan nomor tidak dikenal yang menelfon gue, bahkan gue yakini bukan nomor Indonesia. Gue membiarkan serial Stranger Things terputar di netflix gue sembari mengangkat telfon.

"Halo?" kata gue, mengharapkan ada balasan sapaan, tapi nihil.

"Halo? Ini siapa ya?"

"Eh sumpah, who are you? Dasar Freak, gak usah telfon gue lagi, bye maks-"

"Chaerin," kata seseorang di ujung sana. Fuck. Gue yang tadinya mau lanjut bacotin orang ini, seketika diem. Gue kenal suaranya, suara lembut yang nyapa gue di kelas, suara yang selalu minta gue ajarin Biologi.

Eunsang.

"Maaf, gue cuma mau denger suara lo," lanjutnya lagi.

"H-hai," balas gue sambil menahan tangis. Rasanya hati gue sesak, dan semua kenangan Eunsang kembali lewat di otak gue. Dia yang mau gue curhatin 24/7, dia yang pamer nilai ulangan ke gue, bahkan, dia yang tiba- tiba nembak gue, lalu pergi empat bulan kemudian.

"Udah lama, ya? Disini jam lima pagi."

"Sialan," umpat gue, namun kali ini dengan sedikit isakan. Jujur, gue kangen dia. Banget. Bahkan gue gak nganter dia ke bandara. Obrolan terakhir kita cuma di telfon, dengan keadaan Eunsang minta putus.

"Maaf," katanya lagi. Setelah itu, gue memutuskan telefon secara sepihak, mencoba mencerna apa yang terjadi, membiarkan bantal sofa ini basah sama air mata gue.


✔meeting lee hangyulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang