Bab 17

1.2K 187 12
                                    

Apartemen ini asing, padahal di sinilah gue tinggal selama beberapa bulan kebelakang. Gue membuka pintu unit dengan ragu dan perlahan, mendapati ruangan ini kosong.

Kemarin Seungyoun udah balikin kunci apartemen gue, dan itu berhasil membulatkan tekad gue untuk balik.

Ya, balik dulu aja. Urusan gue sama Hangyul belakangan, lah.

Satu hal yang langsung gue notice adalah marmer yang berdebu.

Aish, pasti jarang banget disapu, apalagi dipel.

Gue taruh semua barang di kamar, lalu memutuskan untuk bersih- bersih unit. Kayaknya bibi yang biasa dateng juga udah lama gak Hangyul telfon untuk bersih- bersih.

Mulai dari remote yang terselip di sofa, bantal sofa yang ada di meja makan, keset depan kamar mandi nyasar ke depan kamar gue, masih banyak lagi deh hal- hal aneh.

Gak lama kemudian, gue mendengar pintu dibuka dan mendapati orang yang jujur gue rindukan selama ini. Kami bertatapan sejenak, saling berusaha menyembunyikan senyuman dan keinginan untuk memeluk.

Ia dengan leather jacket yang melingkupi tubuh besarnya masih mematung disana. Seolah tidak terjadi apapun, gue kembali memilih untuk berurusan dengan sapu dan kemoceng.

Rasanya masih aneh untuk memulai percakapan. Apa ini yang namanya gengsi? Entah.

Yang jelas, ada sesuatu yang menahan gue untuk menyapanya. Gue mencuri pandang ke arahnya yang sekarang lagi sibuk di dapur. Mengeluarkan beberapa daging dari kulkas dan mulai memotong bawang bombay.

Oke, jadi dia mau masak?

Random abis.

Gue masih asyik bersih- bersih apartmen, mengganti sprei kasur yang udah lama gak ditempatin, pokoknya semua-mua nya kecuali kamar Hangyul dan kamar mandi. Rasanya pegel banget dan langsung mau tidur walaupun ini masih jam lima sore.

"Makan," ujar sebuah suara berat dari dapur ketika gue mau masuk kamar. Suara tersebut cukup dapat menggagalkan niat gue untuk langsung malas- malasan di kamar.

Gue menengok menemukan Hangyul duduk di meja makan dengan sepiring spageti di depannya. Kalau kayak gini sih nggak ada pilihan kecuali nurut.

Hening, diam, tenang.

Sama sekali tidak ada percakapan, sama sekali tidak ada satu orang pun dari kami yang ingin memulai percakapan.

Hanya ada suara logam yang saling beradu serta speaker yang memutarkan lagunya Pamungkas, yang Sorry. Cukup menggambarkan situasi sekarang, kan?

'I wish I could turn back the time
And let you know, I never meant to hurt you, I'm sorry'

Aish.

Rasanya dari tadi tuh gue pengen memulai percakapan tapi kayak ada sesuatu yang nahan, ada sesuatu yang bikin gue merasa belum waktunya.

"Gyul."

"Chaerin."

Barengan.

Kami bertatapan sebentar dan ia menaikkan alisnya seolah mempersilahkan gue untuk berbicara terlebih dahulu.

Gue meneguk saliva kasar.

"G-gue-I'm sorry, Gyul."

Gue ini sama sekali nggak berani untuk menatap kedua matanya yang dapat gue pastikan sedang menatap gue dengan tajam.

"Maaf kalau gue lancang, maaf kalau gue ikut campur, maaf kalau gue nyebelin, maaf—"

"Maaf gue udah ngebentak lo," Hangyul memotong kalimat gue. Gue menengok, sedangakan dia ga menatap gue sekarang. Akan tetapi, jantung gue sekarang berdegup enggak karuan.

✔meeting lee hangyulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang