Happy Reading~
Joanna terdiam menatap kosong makanan yang Hellen antarkan ke kamarnya sekitar tiga puluh menit yang lalu. Yap, kamarnya. Joanna telah diperbolehkan pulang oleh dokter ketika semua pemeriksaan telah dilakukan dan dinyatakan bahwa tidak ada yang serius pada tubuhnya akibat benturan keras di kolam tempo lalu.
Namun, saat ini Joanna merasa masih sangat lemah, rasanya begitu enggan untuk bergerak barang sedikit saja. Tubuhnya memang kian membaik, tak ada sakit fisik serius yang Joanna rasakan saat ini. Namun, hal itu tidak berlaku dengan hatinya. Perasaan sesak masih terasa begitu menyakitkan, menghujam begitu telak relung hatinya.
Alasan untuk hal itu hanya satu, yaitu kenyataan begitu pahit bahwa Joanna telah kehilangan calon anaknya yang tak sempat ia sadari kehadirannya. Dan alasan hal itu terjadi adalah karena Joanna sendiri. Ia yang menjadi alasan meninggalnya sang calon buah hati. Seandainya saja Joanna lebih cepat menyadari kehadiran calon bayi dalam perutnya, seandainya Joanna lebih berhati-hati, dan seandainya Joanna tidak berlagak kuat dan arogan dengan menantang kesabaran Aldrick. Dengan semua andai-andai itu, mungkin sekarang calon anaknya masih berkembang dalam perutnya.
Ya, seandainya. Tapi sayangnya, sekarang yang tersisa hanyalah penyesalan.
Joanna masih terdiam bisu dengan pikiran kalutnya yang sudah bergerilya kemana - mana. Bahkan Scarletta yang berada di sana menemaninya hanya bisa ikut terdiam memperhatikan sang ibu yang tampak begitu sedih. Jelas sekali raut kebingungan menghiasi wajah polos gadis kecil itu.
Scarletta terlihat menghela nafas kecil, gadis itu menarik sebuah kursi, kemudian berdiri di atasnya dan mengusap pipi Joanna menggunakan tangan kecilnya.
"Mama mengapa menangis?" Tanyanya bingung ketika melihat setetes air mata berhasil lolos membasahi pipi Joanna.
Joanna seketika tersadar dari lamunannya, wanita itu segera mengusap pipinya. Lalu tersenyum kecil, senyum yang terlihat sangat dipaksakan. Ia menggeleng pelan, kemudian mengusap surai gadis kecil itu dengan lembut.
"Mama tidak menangis, sayang. Tadi ada debu yang masuk ke mata Mama." Ucapnya yang tak ingin membuat Scarletta khawatir.
Dengan polos Scarletta mengangguk, kemudian kembali duduk di atas ranjang samping Joanna. Tak ada suara apa pun setelah itu, Scarletta terlihat sibuk bermain dengan boneka hiu-nya. Sedangkan Joanna memperhatikan Scarletta dengan lekat.
Bersama Scarletta selama tiga minggu lamanya sudah cukup membuat sikap keibuannya muncul, karena memang Joanna adalah tipe wanita yang perasa, hatinya mudah sekali tersentuh. Jadi ketika mendengar kisah Hellen yang cukup menyedihkan sudah berhasil membuatnya seolah merasakan apa yang Scarletta alami selama lima tahun ini. Joanna tahu bahwa Scarletta pasti sangat kesepian, gadis kecil itu pasti sangat menderita walau dirinya digelimangi harta dan kemewahan.
Joanna menghela nafas untuk kesekian kalinya, tangannya terulur mengusap sudut mata yang sedikit berair. Melihat Scarletta membuatnya mengingat kejadian dua hari lalu, kejadian di mana kenyataan mengejutkan seolah menampar dirinya, kenyataan yang selalu mampu membuat matanya memanas karena air mata.
Ckleck!
Joanna yang tadinya terfokus pada Scarletta kini mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Usapan tangannya pada surai hitam gadis itu berhenti seketika ketika melihat Aldrick berdiri di ambang sana. Praktis, perasaan benci seolah membuncah di hati dan pikirannya—menghalau kesedihan yang tadi menghinggapinya begitu saja.
Aldrick adalah sosok yang selalu mampu membuat Joanna muak. Bencinya pada pria Lington itu kini kian menyeruak, membuat Joanna mati rasa akan perasaan cukup menyenangkan yang sempat ia rasakan dibeberapa kesempatan ketika dirinya bersama Aldrick.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDRICK'S
Чиклит[REVISI] 21+ Bagi seorang gadis desa seperti Joanna, menginjakkan kaki di tanah kota adalah salah satu hal yang Ia idamkan. Baginya kota sangatlah indah, lengkap dengan tatanannya yang berkelas. Sayangnya hal itu berubah sesaat setelah ia bertemu d...