Happy Reading~
"Kau terlihat tidak bersemangat sejak kita meninggalkan kediaman Aldrick, ada apa? Apa sekarang kau menyesal atas keputusanmu?" Suara itu membuyarkan lamunan Joanna. Wanita itu kontan menoleh ke arah David yang berada di sampingnya.
Joanna menatap pria itu sejenak. Lantas ia menggeleng sebagai jawaban. "Hanya lelah. Lagi pula sekarang tidak ada ruang bagiku untuk menyesal, aku cukup puas dengan keputusan yang aku buat. Dengan begini, aku akhirnya lepas dari genggaman pria itu." Ujarnya dengan tegas, menepis telak perasaan ragu yang menggerayangi hatinya sejak tadi.
Mendengar jawaban tersebut membuat David menarik sudut bibirnya samar, "Benarkah? Kenapa rasanya kau tengah berbohong sekarang?"
Joanna menghela nafasnya pelan. "Awalnya memang begitu, aku merasa ragu. Tapi setelah dipikirkan lagi, ini sudah benar. Aldrick mendapatkan itu, lagi pula kita tidak membunuhnya. Kita hanya meninggalkan luka yang tak seberapa."
David mengangguk, menandakan dirinya setuju dengan perkataan Joanna. "Benar. Ini semua tidak seberapa baginya. Tapi kenapa sedari tadi kau melamun, jika memang merasa lelah, kau bisa istirahat Joanna."
Joanna tersenyum kecil, David benar-benar ingin menyudutkannya, memaksa Joanna mengakui isi hati yang sebenarnya. "Aku hanya memutar kembali apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. Wajah penuh luka itu mengingatkanku akan diriku dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di mansion besarnya. Tak ada hari tanpa siksaan, sungguh seperti neraka." Ujar Joanna yang kembali mengingat masa-masa menyesakkan yang harus ia lalui dulu. Menghadapi Aldrick yang temperamental dan membiarkan tubuhnya menanggung sakit akibat ulah pria itu.
Joanna menjeda sejenak. "Juga masa paling menyedihkan saat aku harus kehilangan calon bayiku. Bahkan saat itu aku tidak tahu bahwa aku akan menjadi seorang ibu, dan calon anakku harus pergi karena ulah dari ayahnya sendiri. Sungguh menyedihkan, bukan?" Sambungnya tergelak miris.
Joanna menarik nafas berat, sesak di dadanya terasa menyakitkan. "Dan apa kau tau, selama dua hari aku berada di rumah sakit, suami gilaku itu sama sekali tidak pernah berkunjung. Aku hanya sendirian di ruangan besar berbau obat itu, dengan ditemani para bodyguard yang menjaga. Kemudian dengan mudahnya bajingan itu mengucapkan kata maaf, menyesal, dan cinta. Seolah semua kata itu tidak bermakna apa-apa. Tapi semua tak semudah itu, aku tak cukup berhati besar untuk memaafkan seseorang semudah itu." Joanna kembali berucap, sedangkan David hanya diam mendengarkan.
"Kalau aku boleh jujur, awalnya aku tidak berniat membalasnya seperti yang telah aku lakukan bersama kalian tadi, satu-satunya yang aku inginkan hanya sebuah kebebasan. Aku lelah terus dikekang bagai burung dalam sangkar. Diperlakukan semena - semena seperti maninan. Aku hanya ingin bebas, itu saja. Tapi aku sadar, untuk meraih kebebasan itu, kebencian perlu kutimbulkan. Aku perlu membuat sebuah kekacauan yang membuatnya tak memiliki alasan untuk menahanku lagi." Pelupuk mata Joanna berair, sesak di dadanya kian menyakitkan.
"Dan penghianatan adalah satu-satu solusi." Joanna menutup kalimatnya dengan senyuman tipis, jemarinya yang tampak gemetar samar menghapus air matanya yang menetes tanpa perintah.
Penjelasan panjang Joanna membuat David yang sedari tadi terpaku mendengarkan, tersenyum kecil.
"Aku berterima kasih padamu dan juga Ayahmu, David, karena telah datang disaat yang tepat dan mau menawarkan diri untuk membantuku." Ucap Joanna tulus. Ia sangat ingat ketika David menyelinap ke dalam ruang rawatnya beberapa minggu yang lalu di saat dirinya masih dilungkupi perasaan sedih karena kehilangan sang calon bayi.
"Bukan masalah besar, lagi pula ini juga aku lakukan untuk diriku sendiri. Kau tahu alasannya, bukan?" David menjawab.
Joanna mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDRICK'S
ChickLit[REVISI] 21+ Bagi seorang gadis desa seperti Joanna, menginjakkan kaki di tanah kota adalah salah satu hal yang Ia idamkan. Baginya kota sangatlah indah, lengkap dengan tatanannya yang berkelas. Sayangnya hal itu berubah sesaat setelah ia bertemu d...