Annapurna - Chapter 63

41 0 0
                                    

Chapter 63.

Sekarang se-enggaknya ada 2 masalah besar yang harus gw selesaikan secepat mungkin. Pertama, 3 minggu menjelang pemberangkatan tapi gw belum punya passport. Kedua, sekarang lisa juga marah. Gak cuma marah biasa, maksud gw dia bener-bener marah sekarang.

Gak, ke bogor (seperti usulan dari lisa) bukan jalan keluar dari permasalah gw sekarang. Kalaupun gw harus kebogor artinya gw harus ngurus izin satu hari lagi buat keluar. Gak cuma masalah izin, lagian gw berangkat pakai apa kesana jam 2 pagi? Semua hal yang berhubungan dengan urusan bogor selalu terlihat ribet dan menjelimet sekarang.

Gw butuh mukjizat, mukjizat yang bisa bikin gw punya jadwal disalah satu kantor imigrasi sekitar Jakarta Pusat. Gak, mukjizat kayak gini gak mungkin dateng gitu aja, gw harus usaha. Dari sekian banyak pilihan usaha yang bisa gw lakukan sekarang, pilihan untuk mengecek aplikasi imigrasi tiap saat adalah pilihan paling sederhana dan gak makan banyak biaya. Tetep butuh keajaiban sih memang, tapi kalaupun keajaiban itu gak dateng seenggaknya gw udah usaha.

Sebenernya ada banyak pilihan kantor imigrasi untuk daerah sekitar Jakarta. Untuk daerah Jakarta Utara aja ada sekitar 5 kantor imigrasi yang bisa dijadikan tempat untuk pembuatan paspor. Gw udah cek ke-5 tempat ini, dan hasilnya sama, semua jadwal penuh. Pilihan lain yang tersedia adalah mencari kantor imigrasi daerah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Tapi semua juga sama, nihil hasil karena semua jadwal penuh sebelum minggu pertama desember.
Semua konsekuensi ini terjadi akibat kesalahan gw. Kesalahan gw yang terlalu menganggap remeh suatu hal dan terlalu fokus ke penulisan cerita yang gw dedikasikan buat bibi. Lisa bener, gw gak berubah. Gw cuma peduli ke hal-hal yang menurut gw penting, bahkan untuk masalah pertemanan dan lisa udah paham banget sama sifat gw ini. Dulu sebelum ketemu Ami, Lisa dan beberapa anggota BEM lah yang jadi bagian penting dari hidup gw. Gw bahkan hampir tidak peduli dengan teman se-angkatan (dan dicap sombong), gak peduli dengan rutinitas laboratorium, gak peduli dengan kegiatan Jurusan, gw terlalu egois untuk peduli dengan hal-hal kayak gitu dan lebih memilih untuk peduli ke hal lain yang bahkan mungkin tingkat kepeduliannya gak berbalik dengan kadar yang sama.

Lisa berkali-kali mengingatkan gw kalau teman seangkatan itu penting, berkali kali Lisa bilang "seaktif-aktifnya lu di univ, di Jurusan lu harus lebih aktif, mereka itu rumah Lu, Ren, untuk skala Universitas". Dan setiap kali Lisa mengingatkan gw seperti ini, setiap kali itu juga gw ngerasa semakin jauh dari teman Jurusan gw.

Gw terlalu egois, ya. Tapi ada beberapa alasan yang mendasari gw melakukan hal tersebut, selalu ada alasan dibalik sebuah perbuatan, kan. Siapapun yang beranggapan kalau gw sama sekali tidak peduli dengan teman seangkatan itu anggapannya salah besar. Buat gw pengertian peduli disini adalah peduli akan urusan sebatas perkuliahan tanpa harus dicampuri dengan urusan-urusan pribadi. Dan sialnya, beberapa orang menilai kalau pengertian peduli itu harus lebih dari itu. Ntah lah, zaman berubah. Mana yang benar dan mana yang salah bukan gw yang bisa menentukan. Buat gw, yang kadang butuh waktu sendiri dan kadang butuh untuk berinteraksi ini terlalu egois untuk bisa sekedar duduk bareng membahas hal-hal perkuliahan dikantin. Gw, yang belum bisa menentukan tingkat ke-introvert-an, terlalu egois untuk bisa menghubungi dan berinteraksi dengan teman-teman sejurusan di wadah-wadah chat online. Dan gw, sebagai satu-satunya lelaki pengurus BEM tingkat Universitas mungkin dianggap terlalu.. Ah ntahlah...

Dan sebagai konsekuensinya, disela-sela nihilnya kegiatan BEM dan kegiatan perkuliahan, gw hampir melewatkan kegiatan sendiri. Biasanya yang gw lakukan adalah nonton, nonton, dan nonton, bukan dibioskop tapi dikosan. Gw kesepian? Gak kok. Gw butuh waktu-waktu sendiri kayak gini untuk sekedar, gw butuh waktu dimana gw bisa merenungkan apa-apa yang udah gw lakukan sebelumnya. Ntah lah, semua serba membingungkan emang. Semua serba berketerbalikan.

Apa sih yang lu dapet dari aktif sebagai pengurus Univ? Lu dikasih duit emang? Pertanyaan-pertanyaan kayak gini sering gw terima dari teman-teman (cowok) seangkatan gw. Beda halnya dengan teman seangkatan cewek, teman seangkatan cowok masih memberlakukan jadwal futsal dan makan malam bareng dan gw tetap ikuti ritual ini diwaktu-waktu kosong. Joni, Andri, dan beberapa yang lain tetap jadi tempat singgah beberapa kali waktu senggang dari aktifitas perkuliahan dan aktifitas kepanitian. Mereka, sama seperti Lisa, selalu memperingatkan gw untuk bisa membagi perhatian antara jurusan dan universitas dan semuanya tetap gak gw denger. Konsekuensinya gw gak terlalu banyak dikenal, mirip sama keadaan dengan kondisi kerjaan sekarang. Keberadaan Lisa, setelah hampir 4 tahun gak ketemu, mungkin bisa merubah semua. Lisa mungkin bisa jadi tempat dan alasan gw untuk bisa memperbaiki kesalahan yang masih gw ulangi dari masa lalu. Lisa mungkin bisa jadi jawaban atas ketidaktentuan arah hidup yang sedang gw alami sekarang, tapi kenyataannya sekarang dia marah.

Semakin dekat dengan tanggal pemberangkatan, gw semakin sadar juga akan satu hal, gw bakal ketemu Lisa lagi setelah hampir 4 tahun berlalu. Lisa sekarang kabarnya gimana? Apa dia juga sama kayak gw, belum bisa memperbaiki kesalahan masa lalu?

Gak cuma 4 tahun, hampir 5 tahun lebih gw gak berhubungan sama Lisa. Ami dan segala tentang menjadi manusia dewasa membuat gw melupakan dia selama itu.

Kantor Imigrasi Bandara Soekarno Hatta
Jadwal anda sudah tercatat untuk tanggal 5 Desember 2017.
Harap bawa bukti pendaftaran online saat registrasi.

Padahal Lisa, dengan segala kejutekannya, hampir selalu bisa jadi jawaban untuk situasi sulit yang gw alamin bahkan setelah 5 tahun gak ketemu dengan menawarkan proses pembuatan paspor dibogor. Apa jadinya kalau pasport tetap gak selesai sampai tanggal waktu yang ditentukan?

Cerita Kita Untuk Selamanya 2 : Harpocrates [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang