Final Part - Chapter 104

50 1 0
                                    

Chapter 104

Harpocrates, nama ini gue ambil dari salah satu dewa yunani. Harpocrates dari kepercayaan yunani dipercaya sebagai dewa yang melambangkan ketenangan, kesunyiaan, dan ketertutupan. Dewa yunani yang diadaptasi dari kepercayaan mesir kuno ini dipercaya juga sebagai anak dari Isis dan Osiris dan dilamnbangkan sebagai anak kecil yang meletakkan telunjuk didepan mulut yang kita kenal sebagai gestur "diam" saat sekarang.

Pasuphatinath merupakan salah satu kuil suci yang sakral di daerah khatmandu. Berbeda dengan boudhanath stupa, pasupatinath punya satu daerah khusus yang benar-benar suci dan tidak diperkenankan pengunjung untuk masuk kecuali mereka memang penduduk asli yang beragama budha. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di area kuil, disisi salah satu area disisi sebelah kanan terdapat beberapa orang yang duduk sambil membaca doa-doa. Untuk beberapa orang yang tidak mengerti bahasa india kuno, atau sanskerta mungkin, doa-doa ini lebih terdengar sebagai mantra dan sensasinya membuat kita berasa hidup didunia sihir. bangunan -bangunan india kuno masih mendominasi daerah sekitar kuil. Beberapa ornamen patung, candi ukuran mini, dan cerita-cerita tentang kehidupan masa dulu di khatmandu banyak dijelaskan disini oleh beberapa orang guide yang tersedia. Dan untuk pertama kali disini juga lah gue melihat salah satu patung anak kecil yang sedang berdiri diam yang biasa disebut dengan patung ukiran "Harpocrates".

Ntah, mungkin karena memang mindset yang ada dipikiran gue adalah tentang bagaimana mencari ketenangan, sebisa mungkin menghindari drama, dan meminimalisir kontak dengan orang lain, begitu melihat patung kecil "harpocrates" gue seperti terhisap. Gue tertarik untuk mencari tahu semua hal tentang "Harpocrates" dan setelah tahu kalau "Harpocrates" adalah dewa yang melambangkan kesunyian gue langsung berpikir kalau selama ini segala tentang perjalanan mencari ketenangan ini adalah tentang mengetahui fakta kalau ternyata memang beberapa orang terdahulu juga pernah melakukan hal yang sama dengan yang gue lakukan sekarang, berusaha mencari ketenangan dalam hidup dan sampai sekarang manusia masih melakukan hal yang sama.

Banyak hal yang terjadi di pasupatinath dan gue belajar banyak hal tentang kepercayaan Budha di sini. Ditempat ini gue menyaksikan secara langsung proses pembakaran jenazah untuk umat budha yang meninggal dunia ditepi salah satu sungai yang melintasi kuil (ukuran kuil pasuphatinath berkali-kali lipat lebih luad daripada kuil di boudhanat). Disepanjang sungai terdapat beberapa bebatuan menjorok dari tepi sampai hampir 3 meter memakan badan sungai dan dibebatuan ini lah proses pembakaran jenazah dilakukan. Proses pembakaran jenazah hanya boleh dilakukan oleh keluarga laki-laki karena pihak perempuan tidak diperbolehkan datang. Banyak hal yang membuat pihak perempuan tidak boleh mengikuti sesi pembakaran jenazah, satu diantaranya adalah karena banyak perempuan yang ikut membakar diri sendiri karena tidak kuat melihat jenazah orang yang dicintai harus dibakar.

Dihari terakhir di khatmandu, juga sewaktu mengunjungi pashupatinath, gue dan yang lain bertemu dengan seorang guru. Bukan guru biasa, tapi guru yang memang sudah melepas semua urusan duniawi dan sebagian besar hidupnya dihabiskan dengan semedi. Pakaian khas seorang budhist dengan jenggot putih panjang (yang keliatan gak terawat) jadi penanda kalau Sang Guru sudah tidak menjalani kehidupan seorang manusia normal. Menurut cerita yang beredar, sehari-hari sang guru tinggal di sebuah rumah pinggir tebing yang gak jauh dari kuil. Gak cuma satu orang guru, ada 3 orang guru yang terkenal di daerah pasuphatinath yang ketiganya menggunakan pakaian dengan warna yang berbeda; merah, putih, dan kuning.

Para guru ini gak memberi petuah sama sekali, mereka cuma mengizinkan gue untuk beberapa kali mengambil foto bersama dan mengoleskan tika sambil berkata "may you find your purpose and may your life be bless with love and respect". Sang guru berbaju putih, yang sekilas terlihat lebih senior daripada dua yang lain memberikan semacam doa sambil memegang kepala gue sebelum akhirnya gue diperbolehkan untuk berbaur kembali dengan para pengunjung lain. Semuanya dilakukan diarea outdoor disekitar pasupatinath karena sang guru memang terkadang berbaur dengan pengunjung ketika sedang tidak beribadah. Ntah lah tapi perasaan gue rasanya membaik setelah diberi tika dan doa oleh sang guru.

Gue dan yang lain juga berhasil menemukan spot pengambilan gambar untuk syuting film dokter strange dikuil ini. Daripada semua aktifitas yang gue lakuin dipasupatinath, aktifitas pengambilan foto mirip dengan pengambilan gambar di film dokter strange lah yang menghabiskan paling banyak waktu. Gestur, spot, pencahayaan, semua diatur semirip mungkin dan pada akhirnya tingkat kemiripan yang didapat cuma sekitar 60%.

Setelah boudhanath dan pasupatinath selesai, gue dan yang lain memutuskan untuk makan siang dalbat diarea sekitar kuil. Dalam waktu hampir 4 jam gue hampir menghirup bau-bau dupa dalam intensitas terus menurus, dan setelah terbiasa gue sudah bisa merasakan apa arti ketenangan dari bau-bau dupa yang dibakar. Bau dupa ini semacam obat-obatan yang mempengaruhi sistem kerja syaraf yang pemberiannya melalui bau-bauan, se-enggaknya itu asumsi gue yang sedikit banyak tau tentang dunia kesehatan. Bau-bau dupa ini gak cuma memicu ketenangan, mungkin juga untuk mengusir serangga liar, meningkatkan nafsu makan (karena dihari terakhir ini gue dan yang lain bisa menghabiskan satu porsi makanan khatmandu untuk satu orang), dan mungkin juga untuk menghilangkan sensasi-sensasi lelah ditubuh.

Dan kuil yang dikunjungi setelah makan siang gak begitu spesial, hampir mirip dengan boudhanath stupa (punya satu stupa besar sebagai pusat peribadatan) tapi dibedakan dengan letak yang ada di atas salah satu bukit yang mengelilingi kota khatmandu. Tempat ini tempat yang cocok untuk melihat kota khatmandu dari kejauhan dan melakukan hal ini membuat gue sadar kalau khatmandu sebagai ibukota negara nepal gak punya satupun gedung bertingkat dan jelas jauh tertinggal dengan keberadaan Jakarta.

Topeng yang gue dapet dari kampung tibet selalu gue sertakan sebagai aksesoris ditiap pengambilan foto. Vivi sempet bilang kalau sebisa mungkin jangan bawa topeng, lukisan, patung dari daerah yang kita gak kenal karena benda-benda tersebut rawan buat diiisi dengan sesuatu yang tidak terduga. Gue percaya, tapi seenggaknya gue gak bawa patung ini buat niat jahat, gue bawa pulang patung ini murni cuma digunakan untuk keperluan aksesoris foto.

Disore harinya gue dan yang lain mampir ke thamel untuk pembelian oleh-oleh. Di thamel, karena sekarang bertepatan dengan perayaan natal, terjadi peningkatan jumlah dekor khas natal sejak tadi pagi gue berangkat ke boudhanath stupa. Salah satu spanduk berukuran besar menggantung diantara dua bangunan toko bertuliskan "MERRY CHRISMAST. ENJOY YOUR HOLIDAY AT HIMALAYA" dengan berbagai macam gambar hiasan balon dan pohon natal terlihat mencolok diantara untaian-untaian bendera kecil yang berada disepanjang jalan lain. Karena sekarang bertepatan dengan perayaan natal, pikiran gue gak bisa gue alihkan dari pikiran tentang apa dan dimana bibi sekarang.

Jam 9 malam setelah berkonsultasi dengan lisa dan vivi, gue memutuskan untuk membelikan satu buah slayer kecoklatan cendrung emas sebagai oleh-oleh untuk bibi. Gue kangen.

"Besok aku balik ke jakarta, bi. Selamat Natal" gw berbisik dalam hati sebelum menutup hari terakhir perjalanan ke nepal.

Cerita Kita Untuk Selamanya 2 : Harpocrates [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang