Matter

12.8K 2.2K 435
                                    

Walau mempelajari layar virtual helmnya dalam sistem kebut, tapi rasanya cukup memuaskan juga, karena aku sekilas 'agak' mengerti cara pemakaiannya.

Layar virtual dalam helmnya bekerja lewat sensor mata, pergerakan, juga suaraku. Tertanam sensor pelacak keberadaan, tapi yang paling kusyukuri adalah adanya sistem penglihatan dalam gelap serta pembaca thermal panas tubuh. Sehingga akan terbantu jika berada dalam situasi mengerikan tanpa cahaya seperti ketika aku berada dalam Hotel Crown beberapa waktu lalu.

Pelindung tubuh kami pun terasa nyaman, bagai kulit sendiri. Aku mengetesnya dengan gerakan berlari, berlutut, berguling, minus bersalto saja karena tak mampu melakukannya.

Untuk senapan AV-X10 cara pemakaiannya sama dengan senapan SIG yang Kapten dan Prajurit Felix pinjamkan waktu itu, namun ditambahi fitur layar digital penanda sisa isi jumlah peluru pada buntut senapan serta mempunyai seratus delapan puluh peluru dalam sekali isi magasin dengan kemampuan menembak maksimum sepuluh peluru sekaligus.

Archibald sih menyeletuk bahwa senjata ini merupakan suatu pemborosan peluru, tapi bagiku tak begitu masalah, mengingat bagaimana kedatangan serangan zombie yang selalu masif sampai rasanya tak memberikanku waktu untuk bernapas jika sekali terkepung.

"Bagaimana--jika aku tak bisa melakukan ini sama seperti kalian?"

"Hiiiiih ampuun Vinceeent-"
Aku mengangkat kedua tangan tinggi, memohon kesabaran langsung dari langit.
"Tak ada yang minta agar kau menyamai yang lain-"
Kujatuhkan tangan kiriku kebahunya dan mendorongnya agar kembali menghadap kedepan.
Menghadap pada hasil tembakannya di papan bidik.

Menghadap pada hasil tembakannya di papan bidik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lihat?"
Aku menunjuk-nunjuk.
"Tembakanmu belum sempurna memang, tapi sudah mengenai satu sasaran badan zombie. Yang jelas kau sudah tahu cara menambak yang aman dan stabil-

"Tapi-"

"Vincent--"
Aku memijiti dahi, mulai mengerti kejengahan Prajurit Felix ketika mengajarkan cara menembak padaku waktu itu.

Aku menarik napas panjang.
"Intinya--kau jangan sampai menembak melenceng dan mengenai orang atau mengenai tim-mu sendiri!"

Vincent tak menyahut, balik menatap senjata ditangannya dengan lelah. Dahinya pun tak henti mengucurkan keringat.

Walau terus mengeluh, tapi sebenarnya ia cukup gigih dalam belajar menembak. Setelah sebelumnya aku selesai ikut tes mencoba senjata terbarunya, aku segera mengembik-ngembik ditelinga Regi agar langsung mengajarkan penggunaan senjata pada Vincent.
Karena nyatanya aku juga masih pemula dan lebih baik orang bergelar militer jelas seperti Regi yang pantas mengajarkannya langsung.

"Mungkin kau makan dulu saja,"
Anjurku.
"Kau saja kan yang belum makan? Itu sudah disediakan roti dan jus didepan meja tempat Komander sekarang berdiri-"

Dahi Vincent berkerut.
"Kau-- merasakan bahwa tim ini agak--"

"Ya Vincent."
Aku segera memotong, capek dengan bahasan yang sama.

RED CITY : ANNIHILATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang