Encounter

8.2K 1.6K 1.2K
                                    

'Aku tak mau jatuh sendiri, akan kuseret mereka semua jatuh denganku'

Omongannya berhasil terngiang terus dipikiran selama kami diam berjalan balik menuju kamar.

Sejujurnya walau sudah dalam keadaan kacau balau seperti ini, aku sebenarnya masih sekali berharap, ada cara penyelesaian yang baik- damai- tanpa harus melakukan hal yang ekstrem.

Dalam hati aku masih sangat berharap pada akhirnya nanti -entah kapan- semua akan berakhir baik-baik saja. Dunia pulih. Aku, Regi bisa kembali pulang ke Jakarta, ke rumah.
Lalu menjadi keluarga yang hidupnya normal.

Normal.

Padahal dulu mustahil sekali, tapi sekarang kenyataannya malah lebih mudah mendapatkan senapan mutakhir, bom granat dan uang sepuluh milyar, dari pada bisa balik hidup normal tenang seperti di Jakarta dulu.

Langkah Regi didepanku mendadak terhenti.

"Hmm kenapa?"
Tanyaku sambil memandang pundaknya lalu berlalu ke samping.

Dan aku pun melihat si Putra Bilioner sedang berdiri didepan kamar Vincent, tangannya sudah memposisi akan mengetuk pintunya.

"Kalian."
Ucapnya sambil menurunkan tangan kembali. Suaranya terdengar kaku dan kesal, namun berbanding terbalik dengan mimik wajahnya yang terlihat lega sekali melihat kami.
"Kupikir kalian pergi setelah mendapatkan uangnya-"

"No-"gelengku segera.
"Kesepakatan kita kan dua-tiga hari."

Dagunya mengangkat, matanya menyorot tas ransel yang menggantung ringan di bahu kanan Kakakku.
"Kalian habis melakukan apa?"

Aku hampir tertawa mendengar nadanya dalam menyebut kata 'melakukan'. Seakan kami baru selesai mengubur seseorang hidup-hidup.

"Kami tidak melakukan apapun, eng-" aku memalingkan wajah sekilas ke Regi sebelum melanjutkan.
"Kami hanya melakukan jalan ringan keluar-melihat deburan ombak-lalu kembali masuk kesini lagi."

"Oke-"balasnya dengan anggukan kaku. "Oke."
Sekarang matanya mengarah kebelakangku.
"Mana Vincent? Ada yang ingin ku bicarakan sedikit dengan kalian-"

"Dia sepertinya masih tidur, kami hanya pergi berdua saja tadi."

"O really?"
Dahi Pierre mengerut pada penjelasan Regi.
"Tapi aku dari tadi sudah berkali -kali mengetok pintunya tapi dia tak kunjung keluar juga?"

"Hah?"
Kakiku seketika jadi bergerak mendekati pintu.
"Lho, tadi pagi juga kami belum ada bertemu sama sekali, kupikir juga tidur!"

"Ya buka saja-" Timpal Regi.
"Coba buka saja pintunya-dikunci atau tidak?"

Kutekan gagangnya segera, dan pintunya pun membuka mengayun memperlihatkan ruangan kamar mewah yang kosong melompong.

O sial-

"Kemana dia?"
Resah mulai merayapi Pierre, begitu pula diriku. Hanya Regi yang tanpa ba-bi-bu langsung melengos masuk mengecek bagai polisi penggrebek.

"Kemana dia Lucy?!"

"Tak tahu!"
Tekanku balik pada Pierre ketika Regi sedang mengecek kolong tempat tidur lalu melengos lagi ke kamar mandi. "sudah kubilang tadi pagi kami tidak-"

"Kamar mandinya kosong." Info Regi, "Lucy, coba kapan terakhir kau melihatnya?"

"E-Semalam, dia tapi juga melengos juga dariku, saat aku-"
Kutatapi Pierre sekilas.
"Pokoknya saat melengos, ia terlihat sedang gusar karena di ejek oleh Stewart-"

Regi mengangguki sambil berlalu ke arah pintu jendela geser balkon lalu menyingkapi gordennya kesamping. "Pintu jendela ini juga terkunci dari dalam, jelas dia keluar lewat pintu kamar normal-"

RED CITY : ANNIHILATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang