Dare

2.9K 596 116
                                    

Oke, ini sungguh aneh.

Kali ini rasanya aku, kami terlalu beruntung.

Aku sudah sangat bersiap saja menempuh perjalanan kembali ke daerah dermaga dengan bayangan banyak rintangan hambatan.

Namun tak terjadi apapun.

Tidak terjadi apapun tidak tepat sebenarnya. Kami memang mengalami insiden kecil ketika mobil sedang melambat dihampiri oleh tiga zombie yang berlari begitu cepatnya menubruk sisi kanan hingga saliva mereka saat ini masih menempel mengotori jendela.

Kemudian tak ada lagi.

Aku sih seharusnya bersyukur namun sebaliknya jantungku malah jadi berdegup semakin kencang. Jariku bergerak sendiri menghitung dalam hati keberuntungan yang telah terjadi dalam beberapa jam ini.

Jika dihitung mungkin ada lebih dari lima. Dan tentu keberuntungan besarku adalah berhasil menyelamatkan serta bisa dengan lega menceritakan sesungguhnya masalah yang terjadi tanpa ada aksi penyerangan atau pemukulan dari Ryan.

"Kenapa?"
Ryan padahal terlihat serius menyetir tapi tetap menyadari diriku yang memerhatikan dirinya.
"Luce?"

Aku menggeleng canggung.
"Enggak apa apa hahah."

Ryan berdecih.
"Kau menunggu ya kesialan terjadi pada kita?"

Aku mengelap dahi.
"Bukan menunggu sih- tapi aku rasanya-"

"Tak percaya jika kita bisa terlalu beruntung?"

"I-Ya."
Hembusku.
"Tapi mungkin perjalanan berbeda, karena kita dapat panduan dari Russel."

Padahal Aku khawatir juga dengan drone diatas kami ini. Ia berubah menjadi tak cerewet saking ingin mengirit baterai ditubuhnya.

"Sejujurnya aku juga sama Luce."
Ekspresinya masam bagai tak sengaja mengigit lemon.
"Tapi sekarang kenyataannya kita sudah kembali mendekati Jakarta utara dan tim mu yang lain. Kita akan benar-benar meninggalkan kembali Jakarta."

Aku menyengir sebelum menoleh kebelakang, memperhatikan Timmi bergelung tidur dalam tas ransel bening.

Meninggalkan kembali Jakarta untuk kedua kalinya, namun saat ini membawa secercah jawaban dari masalah begitu pula kucing piaraannya Regi.

Dan rumahku dari aku lahir hingga sekarang akan kutinggalkan selamanya.

Pandanganku jadi menurun kebawah.

Aku teringat membaca sekilas dulu saat di ruang kerja Ayah, sebuah buku yang memiliki kutipan 'Tempat tinggal di bangun dengan tembok serta balok, namun rumah di bangun dengan cinta serta mimpi'.

Saat terakhir berada di atap Hotel, Ryan sesumbar mencetuskan seandainya kita semua bisa 'berlibur' singkat ke Gunung atau Pantai kosong.

Namun sesumbar dirinya saat itu jadi membuatku berpikir mungkin harus memang dilakukan, karena mengikuti kenyataan kami semua yang takkan bisa kembali hidup di kota Jakarta seperti dahulu.

Kuakui pemikiran itu cukup membuat hatiku mencelos juga sebelum digantikan oleh perasaan positif baru.

Jika semua itu memang harus terjadi namun aku tetap bersama mereka semua terutama ada Kak Regi, rasanya sudah lebih dari cukup.

Tapi setelah tadi terakhir aku keluar, meninggalkan selamanya rumah dimana aku hidup dan tempati dari kecil membuat tangisku pecah juga.

Rasanya berduka sekali seakan ada keluarga yang meninggal. Walau seakan berlebihan, namun memang itu kenyataannya.

Rumah yang merupakan bagian dari hati dan kenanganku.

Terlebih selepas ini, aku balik bukan Aulian lagi, harus berganti kembali menjadi Lucian atau Sencho Lucian , atau sahabat dekat keluarga Malstrom. Menyesuaikan saja yang terlanjur diberitakan-digaungkan di tv.

RED CITY : ANNIHILATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang