Covert

10.9K 2.1K 356
                                    

Hari setelahnya, aku jadi terjaga dari tidur karena mendengar suara erang muntahan.

Tapi aku tak langsung bangun, tetap membiarkan diri dalam posisi tidur membulat persis seperti kucing dengan selimut menutupi hingga kepala.

Aku menghela napas panjang dengan dada terasa berat. Karena aku masih berharap ini hanya mimpi hingga akan segera terbangun dengan suara umum di lingkungan rumahku di pagi hari.

Uh,

Mana menyangka aku akan merindukan suara penjual bubur ayam gerobak menjajakan dagangannya, suara mengeong kedua kucingku, atau bahkan suara berisik nyaring menyebalkan dari motor modif tetangga sebelahku.

"Uuuweeek!"

Hih,

Aku menghentakan kepala ke bantal.

"Weeeek---hoeeek-"

"Geeez!"
Keluhku menarik turun selimut dari kepala.

Kuputar mataku keatas dan langsung bertatapan dengan Vincent yang duduk dikursi tengah ruangan, memegang sebuah ponsel.

"Itu Pierre mual-"

"PIERRE!"
Aku menyalak langsung ke arah kamar mandi.
"KAU-"

Wajahnya yang pucat menyembul dari balik pintu.
"Ehek--pagi Lucian-"
Masih tertinggal jejak muntahan putih didagunya.
"Mabuk laut--"
Ia balik menarik kepalanya dan terdengar suara tumpahan muntahan kembali.

"Aduh astaga Pierre,"
Seruku perlahan mengambil posisi duduk.
"Tapi kau kan ada kamar mandi sendiri!"

Bukan bermaksud tak peka. Tapi aku punya poin tersendiri. Dia punya ruangan serta kamar mandi sendiri, aku juga masih ingin tidur karena menyadari waktu yang sepertinya belum menyentuh jam enam pagi.

"Ehek! Ini gara-gara topan-"
Suara erang melengkingnya terdengar menggema.
"Buat--mual--weeekh!"

Aku menggeleng, memutar bola mataku dengan sebal namun akhirnya pandanganku juga jadi mendarat ke jendela bulat kecil di samping.

Terdapat kilat-kilatan petir, membuatku menelan ludah.
"Topannya benar-benar datang ya."
Keluhku sambil mulai menyadari keadaan badan yang rasanya mengayun-ayun sendiri ditempat.

"Ya--weeekh!"

Sial.

Komander memang semalam memberitahu keadaan cuaca yang memburuk serta adanya anomali pergeseran badai topan yang mungkin bisa mengganggu perjalanan.

Tapi dilihat dari keadaan sudah jelas bukan 'mungkin' tapi akan terjadi.

Aku perlahan menoleh pada Vincent. Pandangan khawatir yang ia sematkan ke jendela pun jadi beralih padaku.

Sebenarnya setelah banyak hal yang telah terjadi, aku tahu tak boleh berharap muluk-muluk terhadap keadaan. Tapi tetap saja rasa kegetiran menyerang batinku.

Tak bisakah bisa sampai disana, tanpa dibayangi oleh kesulitan lainnya?

Terdengar bunyi derit keran air diputar penuh sebelum dimatikan.

Pierre pun keluar dari kamar mandi dengan sempoyongan, mendekati ketempat duduk kosong disebelah Vincent. Ia segera mengistirahatkan tangannya keatas meja didepannya tepat ketika menjatuhkan dirinya duduk.
"Kau ini tetap tidur, padahal sudah dari sejam yang lalu seperti ini bahkan ada gemuruh petir kencang tadi dan kau terus saja lelap."

"Yahh,"
Sahutku menarik penutup jendelanya sehingga tak perlu menyaksikan pemandangan kilat menyeramkan diluar.
"Jadi hanya aku saja ya yang sepertinya minum obat tidurnya?"

RED CITY : ANNIHILATION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang