AU(28)- Rasa dan Luka

248 11 0
                                    

Happy reading temen-temen 💕

Kita berbeda dengan semua persamaan. Kita berada dalam satu garis, namun garis itu berlainan arah. Kita hanya bisa bicara dalam sendu. Hingga akhirnya, sampai pada titik jenuh dalam sebuah ketidakpastian.
—About Us—

Alishka terduduk di kursi teras rumahnya. Ralat, bekas rumahnya. Ia menunggu Taizo yang akan menjemput dirinya. Kalian bertanya ke mana Rama? Jawabannya sudah pulang. Alishka mencoba mengusir cowok itu secara halus dan akhirnya berhasil.

Sang mentari hampir tenggelam dan tak meninggalkan jejak di bumi. Gadis itu menatap knop pintu yang sudah tergembok. Benaknya menyimpan banyak pertanyaan tentang hari ini. Mengapa mereka pindah? Ada apa dengan Rama? Apa yang disimpan oleh hari ini?

"Lishka, maafin Ayah, tadi beli buku Haikal dulu di pasar. Rama mana?"

Alishka terkejut dengan kedatangan Taizo yang tiba-tiba dan masih terbalut seragam kerjanya.

"Iya, Yah. Udah aku suruh pulang tadi, takut nunggu lama. Rumahnya jauh dari sini,  Yah?"

Taizo hanya tersenyum dan memberikan isyarat pada putrinya untuk naik ke atas motor. Alishka hanya mengangguk dan mengikuti sang ayah. Motor itu berjalan meninggalkan halaman rumah minimalist yang sudah menjadi kenangan bagi Alishka dalam beberapa belas tahun ini.

Berbagai gang sudah mereka lewati, berbagai suara sudah mereka dengar, berbagai bentuk rumah juga sudah ia lihat. Alishka semakin bingung ke mana ia akan dibawa. Hingga mereka sampai di sebuah gang sempit yang hanya terdiri dari beberapa rumah.

Motor Taizo berhenti di depan sebuah rumah tanpa pagar dan beberapa ban bekas di samping rumah itu. Mau tak mau Alishka turun dari motor dan menatap ayahnya seolah meminta penjelasan. Lagi-lagi ayahnya hanya tersenyum dan menggambil plastik yang berisi buku Haikal.

"Yah, ini rumahnya?" tanya Alishka ketika langkah Taizo hampir memasuki rumah.

"Iya. Masuk dulu, nanti Ayah jelasin," jawab ayahnya tenang dan melanjutkan langkahnya.

Alishka merasakan hatinya remuk karena melihat ekspresi palsu dari ayahnya yang seolah tak apa-apa. Andai dirinya mampu membantu ayahnya, mungkin semua ini tidak terjadi. Gadis itu mengeratkan jaket yang ia kenakan dan memperhatikan keadaan bangunan itu. Tampak tua, usang, dan lama tak ditinggali.

Haikal yang baru keluar dari bilik kamar tanpa pintu dan hanya disekat oleh kain renda berwarna biru tua, langsung menyambut kedatangan ayahnya dengan bahagia. Anak itu kembali memasuki bilik tadi,  sedangkan Taizo menyuruh duduk di kursi lapuk yang ada di belakang jendela.

"Lishka, maafin Ayah. Mungkin kita akan tinggal di sini sampai Ayah mampu menebus rumah kita yang lama. Setidaknya ini masih bisa melindungi kita dari panas dan hujan, Ayah janji—"

"Maksud Ayah, rumah kita ditahan? Sama siapa? Kenapa, Yah?" Alishka memotong ucapan ayahnya dan membuat lelaki itu sedikit meringis.

"Bank. Ayah sudah melewati batasan untuk membayar kewajiban. Ayah harap kalian bisa beradaptasi di sini, apalagi Haikal yang masih terbilang kecil. Kasih tau kalau dia ngeyel mau pulang ke rumah, Ayah minta sama kamu," jelas ayahnya yang membuat Alishka ingin menangis sejadi-jadinya.

Air matanya berlinang dan bersiap terjun kapan saja. Taizo yang melihat itu langsung memeluk putrinya, bermaksud menguatkan.

"Maafin, Ayah." Taizo memeluk tubuh Alishka yang membatu dengan menjelasannya.

"Yah, Alishka mau bantu Ayah. Alishka nggak mau terima penolakan, Alishka janji bakal balikin apa yang kita punya," ujar Alishka merenggangkan pelukannya, lalu menatap manik milik orang yang sudah membesarkannya itu.

Taizo tak mampu untuk menjawab, ia hanya bisa mengangguk singkat. "Bersih-bersih dulu sana."

Alishka berjalan menuju kamar yang ditunjuk oleh Taizo. Mengingat semua yang ia alami terasa nyilu.

Taizo ikut beranjak dari tempat duduknya, namun seketika terkejut dengan bayangan seseorang yang berdiri di depan rumah.

"Fajar, maafkan Paman untuk kesalahan dua belas tahun lalu."

****

"Ya ampun, siapa sih yang pagi-pagi udah ngirimin cokelat? Enggak tau apa kalau gue lagi diet!"

Alishka menutup telinganya ketika memasuki kelas dan mendapati suara yang menggelegar itu. Ia melihat Chinta yang membuka sebuah kotak berpita merah yang berisi cokelat dan memindahkannya ke meja Dera. Gadis itu membaca sebuah surat yang membuat Alishka penasaran.

"Dari siapa?" Nada bicara Alishka belum berubah, masih dengan ciri khasnya.

Chinta dan Dera menoleh, salah satu dari mereka menunjukkan raut wajah kesal yang membuat Alishka bertambah bingung.

"Enggak tau, pas kita dateng udah ada aja. Ditanya sama anak kelas, katanya nggak ada yang masuk. Terus siapa? Suratnya juga nggak jelas gini," jawab Dera menarik surat itu dari tangan Chinta dan menunjukkannya pada Alishka.

'Semoga harimu ceria, aku akan terus begini. Merindukanmu dari jauh.'

"Adam." Chinta dan Dera refleks menoleh pada Alishka ketika gadis itu menyebut nama yang membuat telinga Chinta panas.

Tangan Alishka bergerak melihat isi kotak yang ada di atas meja Dera. Dua batang cokelat dibungkus rapi beserta pita merah yang ada di dalam kotak itu.

"Ini benar Adam, Ta. Lo masih diem-dieman sama dia? Masalah kalian belum selesai?"

Chinta hanya diam. Ia menghindari kontak mata dengan Alishka dan mengalihkan pandangan menuju pintu. Sedangkan Dera masih bingung dengan perubahan sikap Chinta dan fakta yang baru ia dapatkan. Alishka memaksa Chinta untuk menghadap pada dirinya dan meminta penjelasan.

"Kalau lo emang masih ada rasa, lebih baik jangan kayak gini, Chin. Gue enek ngeliat lo marah-marah nggak jelas gini. Bentar, Adam? Adam yang kemarin? Jangan-jangan yang lagi deket sama Rani itu ya? Anak PMR?" tanya Dera dengan kecepatan berbicara yang cepat.

Dera menghapus bekas liptint di jarinya dan menyimpan pewarna bibir itu ke dalam tas.

"Iya, kan, Lish?"

Alishka hanya mengangguk pelan. "Kali ini gue setuju sama Dera. Lo masih suka sama dia?" lanjut Alishka semakin memojokkan Chinta yang tak berani menjawab. Ia memilin ujung roknya dan hanya menatap lantai.

"Gue emang masih suka sama dia. Tapi, gue nggak bisa apa-apa kalau dia sukanya sama Rani, bukan sama gue."

Kalimat itu seperti di luar kendali Chinta. Terlihat dari reaksinya yang langsung menutup mulut setelah mengucapkan itu.

Alishka dan Dera sama-sama mengembuskan napas kasar, lalu duduk di meja masing-masing. Chinta menutup kotak itu kembali dan memilih menyimpannya. Gadis itu benar-benar menyimpannya, seperti menyimpan perasaan yang terpendam dalam tanpa ingin diungkit dan terluka.

"Lish, temenin gue ke toilet bentar," ujar Dera menyimpan tas make up miliknya.

Alishka hanya diam, namun berdiri dari tempat duduknya. Dera tersenyum dengan gerakan Alishka yang setuju untuk menemaninya.

"Kita ke toilet dulu," ucap Dera pada Chinta yang termenung menghadap ke arah jendela.

Chinta tak menjawab, ia masih menahan dagu dengan kedua tangannya. Dera dan Alishka pun pergi ke toilet tanpa menunggu persetujuan dari Alishka.

Tbc 🧡
Suka quotesnya di atas? Sok sok mampir ke ig (clsfbrn_)
Jangan lupa follow and koment yaps 🧡

ABOUT US ||  COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang